Lihat ke Halaman Asli

Perempuan itu Berkalung Sastra

Diperbarui: 1 Februari 2024   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rinai-rinai nyanyian hujan masih me-rintik di atas atap-atap gedung dan rumah-rumah tua di perkampungan, daun-daun kering berguguran dihantam dentuman. 

Awan gelap penuh pekat, lampu-lampu di semenanjung Halmahera terus berkedip-kedip, menyelipkan segala temu yang telat berlabuh. Aku hendak menulis sebuah cerpen untuk kita, untuk kau yang ku sua lawat beranda Instagram.

Di sebuah malam dibatas laut yang meremang, di ujung dermaga berkalung linang, ku bungkus bait cerpen dan puisi itu pada peluk usai membacanya. Mencoba menerka setiap gemulai kosa kata yang diselipkan oleh penulis di antara bait-bait nya yang bertangga. 

Ku temukan sejuta rasa, sejuta frasa yang berderai serupa tetesan darah dari seorang pembangkang, yang hilang di sebuah rezim karena melawan dengan puisi-puisi, ialah Wiji Thukul. 

Wiji Thukul, puisi-puisinya adalah senjata, yang bila dibaca maka akan bergetar lah semua dada dan isi kepala. Iya, sepotong cerpen dan puisi kepunyaan mu ini adalah perpanjangan dari suara-suara cinta yang pernah di gaung. 

Maka terus mengulang, berpetualang dengan setiap kata yang dahulu berserakan namun kemudian kau pungut menjadi cerpen dan puisi.  Kau, perempuan ber-tahi lalat di bawah bibir, dua puisi mu itu telah ku baca, dan sungguh membikin ku tenggelam.  

Malam itu aku terkurung bersama buku-buku yang tertumpuk, di sebuah gubuk ku rebahkan segala penat pada dinding yang berhias koran-koran. Menimang keluh dalam-dalam, menggigit kembali sebuah cerita tentang sepasang yang melawan, hingga tepat di sepertiga malam, ku temukan kau di dalam rantai cerpen dan puisi yang kau tulis di sebuah media. 

Lalu ku baca puisi mu pelan-pelan dengan penuh rasa, aku terkapar pada setiap pilihan kata yang kau poles menjadi rasa, juga pada cerpen mu, yang kau hias dengan bahasa yang teramat jujur dan menusuk. Dwi, demikianlah nama mu, perempuan Sastra Inggris yang coba bercerita lewat penggalan-penggalan sastra. 

Di akhir Januari yang perlahan menyapa Februari yang baru, aku dan dia memulai percakapan seputar menulis lawat via WhatsApp. Ia nampak tenang dan tak meras terganggu, pada balasan-balasan percakapannya, aku dapat memahami, bahwa tekadnya untuk giat menulis amat besar, sayang bila tak ditemani atau diajari. 

Percakapan kami terus berlanjut, meski tak banyak yang kami wacanakan, hanya seputar menulis dan dua puisi kepunyaannya. Hingga kami bersepakat untuk bertemu dan menulis bersama, malam tenggelam dan siang menjelang lawat paginya yang ber-mentari. Ia rupanya telah berpulang ke kampung halam di libur kali ini, tak apa, aku akan menantinya dengan sastra ditepi per-tungguan.

Part I

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline