Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kita semua tahu ungkapan itu. Tapi mari kita bongkar sedikit: apa yang terjadi ketika pujian kepada guru melimpah ruah tanpa pandang bulu? Kenapa guru-guru kita jadi begitu haus pujian? Dan apa dampaknya bagi pendidikan kita? Mari kita lihat lebih dekat, lebih kritis.
Bayangkan sebuah pagi di sekolah. Anak-anak menyapa guru mereka dengan riang, “Selamat pagi, Pak! Selamat pagi, Bu!” Tapi sapaan itu, seberapa tuluskah? Lebih sering itu hanya rutinitas kosong, diajarkan sejak kecil untuk menunjukkan rasa hormat yang tidak benar-benar dirasakan. Anak-anak ini kemudian belajar sejarah dari buku-buku yang mungkin saja penuh distorsi. Mereka belajar bukan untuk memahami, tapi untuk mengejar nilai. Nilai yang bisa 'diatur' dengan sedikit 'amplop perhatian' kepada guru.
Ini adalah ironi sistem pendidikan kita. Anak-anak belajar dari guru yang juga terjebak dalam sistem korup dan penuh kepalsuan. Guru, yang seharusnya menjadi teladan, justru ikut dalam praktik-praktik yang merusak integritas pendidikan. Mereka menerima amplop untuk mengubah nilai—amplop-amplop 'perhatian' yang diserahkan dengan senyum palsu.
Ketika puisi yang mengkritik guru dibagikan di grup WhatsApp, reaksi yang muncul adalah kemarahan. “Siapa yang berani mengkritik guru?” seru mereka. “Tanpa guru, tidak akan ada presiden, profesor, atau ilmuwan!” Kalimat ini mengandung kebanggaan yang salah arah. Ketidakmampuan menerima kritik menunjukkan kelemahan mendasar dalam sistem kita.
Sejarah menunjukkan bahwa pujian berlebihan merusak. Bung Karno dan Soeharto, dua tokoh besar Indonesia, jatuh dengan cara yang menyakitkan karena terlalu banyak dipuji. Mereka terbiasa dengan sanjungan sehingga sulit menerima kritik. Hal yang sama terjadi pada guru yang terlalu sering dipuji. Mereka kehilangan kemampuan untuk melihat realitas dan terjebak dalam stagnasi.
Kita harus membedakan antara status dan peran. Seorang guru layak dihormati bukan karena statusnya, tetapi karena perannya yang nyata dalam membentuk masa depan anak-anak. Guru yang menginspirasi dan mendorong perubahan positif layak mendapat penghargaan. Namun, status sebagai guru saja tidak cukup untuk meminta pujian dan penghormatan. Hal ini berlaku untuk semua profesi. Presiden tidak layak dihormati hanya karena jabatannya, tetapi karena tindakan nyata dalam melindungi rakyat dan menjalankan amanah.
Ketika kita terus-menerus memuji guru hanya karena status mereka, kita merusak mentalitas mereka. Mereka mulai percaya bahwa mereka sakral, tak tersentuh, dan tidak perlu perbaikan. Padahal, setiap manusia, apapun profesinya, selalu punya ruang untuk perbaikan. Menolak kritik dan terus mencari pujian akan berujung pada kualitas yang buruk dan kemunduran.
Sebagai masyarakat, kita harus berhenti mengglorifikasi status dan mulai mengapresiasi peran nyata. Guru harus membuka diri terhadap kritik yang membangun, karena dari sanalah perbaikan bermula. Kita perlu mendorong sistem pendidikan yang transparan dan jujur, di mana pujian diberikan bukan karena status, tetapi karena kontribusi nyata.
Kepada para guru di Indonesia, tinggalkan glorifikasi yang tidak perlu. Bukalah diri untuk kritik dan perbaikan. Jadilah inspirasi bukan karena status, tetapi karena peran nyata dalam membentuk generasi masa depan. Hanya dengan begitu, kita bisa berharap pada sistem pendidikan yang lebih baik dan lebih jujur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H