Lihat ke Halaman Asli

Muh. Hanafi

Abdi Negara

Menjadi Santri Dulu dan Kini

Diperbarui: 25 Desember 2022   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Santri saat menaikkan Bendera Merah Putih pada saat Upacara dalam rangka Hari Santri (Sumber : https://www.facebook.com/Kemenag Tanjab Bar

Hujan deras dari subuh hari Sabtu, 22 Oktober 2022, dengan memakai mantel hujan saya tetap terjang derasnya air hujan pagi itu. Jam telah menunjukkan pukul 06.40 WIB, 20 menit lagi pukul 07.00 WIB. Saya harus sudah sampai ke sekolah sebelum pukul 07.00 WIB, karena akan absen penjer print dan Scan Foto separu badan untuk Absensi Smart ASN tidak boleh lebih dari pukul 07.00 WIB, karena dianggap terlambat. Alhamdulillah sudah sampai.

Pagi itu setelah absensi kehadiran di sekolah, kami diperintahkan Kepala Sekolah untuk mengikuti upacara dalam rangka Hari Santri 2022 di Alun-alun Kota. Nanti disana akan bergabung dengan seluruh Dinas, kantor, sekolah dan seluruh utusan Pondok Pesantren sekabupaten kami.

Pakaian yang kami pakaipun berciri khas santri, yang laki-laki memakai sarung putih, koko putih, peci putih. Yang perempuan busana muslimah baju kurung, rok dan jilbab panjang putih.

Hujan belum juga reda, kami dan para guru menantikan redanya hujan. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Telah satu jam kami dalam penantian untuk menunggu redanya hujan.

"Ayo Bapak Ibu siap-siap" kata Ibu Kepala Sekolah. Hujan ternyata telah mulai reda, sepertinya langit mulai cerah dan yang menarik pagi itu muncul pelangi. Indah sekali. Bergegas kami dan para guru untuk menuju ke alun-alun kota.

Sampai disana, ternyata sudah ramai sekali. Meski hujan baru reda, tidak menyurutkan semangat para peserta upacara untuk mengikuti upacara dalam rangka hari santri. Pagi itulah saya baru tahu, ternyata banyak pesantren di kabupaten kami. Barisan santri berjejer putih-putih. Yang santri putri anggun bak bidadari, dan yang santri putra nampak sekali gagah berwibawa. Calon asatidz dan asatidzah generasi akan datang, gumam saya waktu itu.

Upacara telah dimulai, bertindak sebagai pembina upacara langsung Bupati kami. Bupati sekaligus juga santri, beliau adalah mantan dosen Universitas Islam Negeri dan pengajar/Mudir Madrasah di pondok pesantren. Pesantrennya diasuh oleh adeknya paling bungsu. Di pesantrennya ada banyak tingkatan sekolah. dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, I'dad Lughawi sampai tingkatan Aliyah. Kemudian beliau Ikut Pilkada dan terpilih. 

Begitu khidmat kami mengikuti upacara hari itu bersama para santri. Setelah upacara ditutup dengan pawai  defile memperkenalkan  utusan rombongan dari berbagai pesantren di kabupaten kami.

Santri ujung tombak moderasi Islam

Di dalam Al-Qur'an Surah Al-Anbiya' ayat 107, Allah Subhanahu Wata'ala berfirman "dan Tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". Dari ayat ini mempertegas bahwa pendidikan Islam itu rahmat bagi semua. Pesantren sebagai wadah moderasi beragama bukan moderasi agama. Jangan salah dalam membaca dan memahaminya. Pesantren memberikan pembelajaran akan nilai hidup humanisme, mengajarkan toleransi dalam beragama dan plurasime ketika di masyarakat. Ingatkah akan kisah bagaimana Rasulullah dan kaum muslimin merangkup keberagaman hidup berdampingan dengan kaum yahudi di Kota Yatsrib (sekarang Madinah). Sampai hari ini dikenal dengan piagam Madinah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline