Lihat ke Halaman Asli

Sedih Bila Jokowi Migrasi ke Ibukota

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semakin dekatnya waktu Pilkada DKI Jakarta semakin menyimbukkan Partai politik untuk memunculkan calon yang paling bisa mendongkrak suara pemilih. Mulai dari calon yang kembali hendak menduduki DKI 1 untuk kedua kali, calon independen yang mencoba-coba unjuk kebolehan, sampai sejumlah walikota atau gubernur yang dipandang sukses mengurus pemerintahan.
Seiring dengan semakin rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik akgir-akhir ini, keketiran juga dijawab melalui calon-calon yang dianggap mampu mendulang suara secara maksimal. Joko adalah salah satunya. Setelah sukses mengurus Kota Solo, dengan karakter kerakyatan dan kesederhanaan untuk mengembangkan masyarakat Solo menjadi mandiri dan kreatif, imau tak mau ia pun digadang-gadang sejumlah warga Jakarta untuk membenahi ibu kota yang super semrawut. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Joko, seorang Walikota yang terkenal dengan produksi lokal mobil Esemka.
Walaupun sempat menonak mengisi formulir pencalonan, seorang Jokowi hanyalah bagian dari sebuah partai politik besar yang juga punya kepentingan. Apalagi, setelah sempat PKS menekan angka Parpol lain pada Pilkada-pilkada sebelumnya, Parpol-parpol besar pesaingpun berusaha mencari segala cara untuk menomorduakan Partai Islam ini. Mungkin saja Jokowi dipasang oleh PDI P, partai induk di mana Jokowi bernaung. Bila demikian, tidak menutup kemungkinan penolakan Jokowi tak berarti apa-apa dan ia harus mengikuti skenario makro dari Pusat. Kabar terakhir, Jokowi memang mendaftarkan diri di Ibu Kota dan siap hijrah ke Jakarta bila ia memang terpilih sebagai DKI 1.
Tentu ini menjadi kabr baik bagi penduduk DKI, termasuk saya pribadi. Namun sayang, di balik itu semua, ada fenomena yang menyedihkan hati saya sebagai salah satu anak negeri dengan migrasinya Jokowi ke Ibu Kota. Kesedihan ini bukan hanya karena warga Solo yang bakal kehilangan pemimpin yang mereka sayangi, tetapi kesedihan terhadap bangsa ini yang mulai kehabisan pemimpin dan orang baik.
Bila Jokowi atau Alex Nurdin, gubernur Sumsel, harus meninggalkan kampungnya dan mengadu nasib ke Jakarta laiknya penduduk yang lain, alangkah sedihnya bangsa ini. Hal ini menunjukkan bahwa 250 penduduk Indonesia masih kekurangan pemimpin, bahkan untuk ibokota yang paling padat penduduknya dan paling diminati oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal ini juga menafikan seluruh eksistensi tokoh partai politik yang secara tidak sadar harus mengakui karisma kepemimpinan Jokowi.
Berharap DKI lebih baik ke depan, siapapun yang akan menjadi pemimpin. Tetapi sekali lagi harus saya katakan, migrasinya Jokowi ke Ibukota telah meninggalkan perasaan sedih pada saya, bahwa Negeri ini tengah dilanda krisi kepemimpinan dan kehabisan stok orang baik yang dapat diandalkan memimpin Negeri. Tentu hal ini menjadi sebuah tantangan besar bagi Partai politik dan seluruh rakyat Indonesia yang tengah dilanda pelbagai krisis. Sementara di sisi yang lain, Partai hanya sibuk dengan menumpuk harta kekayaan dan kekuasaa di tengah re.dahnya kepercayaan publik terhadap partai politik. Semoga Indonesia lebih baik dan dan mendapatkan pemimpin yang lebih bertanggungjawab pada masa yang akan datang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline