Lihat ke Halaman Asli

Amina, Pemerkosa dan Racun Tikus: Derita Perempuan Maroko

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita menyedihkan kembali muncul dari komunitas Muslim. Bila kemarin Ketua DPR menstigmatisasi perempuan korban perkosaan yang "suka" mengundang hasrat laki-laki untuk memperkosa, kemarin (14/3/2012) kejadian pahit juga dialami oleh seorang perempuan Maroko (16) yang menjadi korban perkosaan. Perempuan nahas ini bernama Amina Filali yang menjadi korban pemerkosaan dan diputuskan oleh Pengadilan Tangier agar laki-laki pemerkosa menikahi korban. Menerima putusan ini, Amina lebih memilih menegak racun tikus daripada harus hidup bersama dengan pelaku.

Keputusan ini diambil oleh Hakim berdasarkan pada Pasal 475 UU Pidana Maroko yang membolehkan pelaku "penculikan" di bawah umur untuk menikahi korbannya agar terhindar dari hukuman. Pasal ini kerap digunakan untuk menjustifikasi praktek tradisional yang membuka ruang pada pelaku pemerkosaan untuk menikahi korbannya, demi menjaga kehormatan keluarga perempuan.

Pasal yang berangkat dari kebiasaan ini menyebutkan, bahwa:

"Barang siapa ditipu atau diculik dan belum mencapai usia usia delapan belas tahun, tanpa menggunakan kekerasan atau ancaman atau menipu atau mencobanya, dipidana dengan pidana penjara satu sampai lima tahun dan denda 120-500 dirham. Namun, bila anak yang diculik atau ditipu tersebut telah baligh dan menikah dengan pelaku, maka tidak dapat dituntut, kecuali dengan pengaduan dari orang yang memegang hak untuk meminta pembatalan perkawinan. Pelaku tidak dapat dituntut sampai adanya pembatalan perkawinan diucapkan".

Pasal ini sering digunakan oleh para Hakim atau pelaku kriminal (sesuai dengan deliknya) untuk menghilangkan hukuman pidana, dengan memaksa korbannya untuk menikahi pelaku. Dengan perkawinan ini, pelaku tentu terlepas dari hukuman dan pelaku baru bisa dihukum setelah terjadinya pernyataan pembatalan perkawinan.

Sontak saja keputusan ini mengundang protes keras dari pelbagai masyarakat, karena Putusan dipandang telah melanggar hak-hak Amina. Tidak hanya pelaku (pemerkosa), tetapi juga oleh hukum dan adat istiadat yang melanggengkan praktik ini. Alih-alih untuk menerapkan putusan hukum yang memberikan rasa keadilan kepada perempuan, Putusan ini justru telah menafikan sisi kemanusiaan (dehumanisasi) seorang perempuan.

Dalam konteks yang normal saja, seorang perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan pasangannya dan keputusan perempuan tersebut diakui secara sah oleh hukum. Hal ini tidak hanya diakui dalam strdard HAM internasional, tetapi juga oleh hukum Islam yang telah tumbuh berabad-abad lamanya (baca: kawin paksa). Apalagi, bila perempuan tersebut korban perkosaan, tentu benak kita bertanya "Ke mana otak Hakim itu sampai memutus perkara seperti ini?".

Namun inilah realitas. Ada banyak permasalahan yang terjadi di komunitas Muslim di seluruh dunia yang terkadang menggunakan agama sebagai tamengnya. Padahal, sama sekali agama tidak pernah menyetujui tindak tersebut. Praktik seperti kejadian di atas yang menimpa Amina dikabarkan masih banyak terjadi di wilayah Timur Tengah, tempat di mana oase Islam muncul dan berkembang. Demikian pula praktik lain yang memandang perempuan secara inferior. Tidak pernah dibayangkan oleh perempuan Indonesia bahwa mereka dilarang untuk menyetir kendaraannya sendiri seperti terjadi di Arab Saudi. Atau mungkin tidak pernah juga perempuan Indonesia terpikir mereka dilarang untuk menjadi presiden. Tapi tidak demikian di bagian dunia yang lain, dan kita cukup bersyukur ada di Indonesia.

Pemerkosa dalam Islam

Kembali pada permasalahan di atas. Karena peristiwa ini terjadi di negara Muslim dan masih banyak terjadi di Timur Tengah yang nota bene juga Negara-negara Muslim, rasanya sangat relevan untuk mengaitkan permasalahan perkosaan dengan hukum Islam.

Bila merujuk kepada hukum Islam, seharusnya hakim dapat menerapkan hukuman qishash (walaupun saya pribadi tidak setuju dengan hukuman mati), karena menurut hukum qishash, seorang laki-laki yang telah menikah dan berhubungan badan dengan perempuan lain dapat dihukum pancung (dengan syarat 4 orang saksi) atau dicambuk 100 kali bagi yang belum menikah. Apalagi, laki-laki tersebut adalah pemerkosa, yang sebetulnya melakukan kejahatan dua kali lipat dari sekedar berhubungan badan (zina, dalam Islam).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline