Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ghazi Haqqani

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia

Sistem Pengetahuan Masyarakat Lokal Kampung Naga, Desa Neglasari

Diperbarui: 27 Juni 2022   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Naga adalah salah satu kampung adat yang masih eksis hingga saat ini. Kampung Naga terletak di Desa Neglarasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya dengan 112 bangunan rumah, 107 kepala keluarga dengan total penduduk sekitar 298 jiwa. Keseharian masyarakat Kampung Naga adalah dengan bertani sebagai sumber konsumsi masyarakat Kampung Naga. Ketika hasil panen tersebut melebihi dari kebutuhan masyarakat barulah dijual keluar kampung. Kampung Naga terkenal dengan jumlah tangga yang begitu banyak, yakni 439 buah anak tangga sebagai akses untuk naik dan turun menuju pemukiman kampung adat. Walaupun Kampung Naga merupakan kampung adat, akan tetapi terbuka dengan dunia luar.

Suasana tempat tinggal masyarakat Kampung Naga

Kampung Naga walaupun sangat berdekatan dengan kehidupan modern, namun tetap bisa mempertahankan nilai dan budaya tradisional dari nenek moyang maupun alam yang dipegang teguh selama bertahun-tahun, walaupun pada tahun 1980 ada sebuah tragedi pembakaran desa oleh DI/TII karena menolak bergabung ke dalam negara Islam, sehingga masyarakat kampung naga mengalami kehilangan jejak terhadap nenek moyang mereka. Dengan nilai kebudayaan yang kuat sehingga masyarakat Kampung Naga hampir tidak pernah terkena bencana alam karena masyarakat memanfaatkan alam secukupnya sehingga dapat hidup baik berdampingan dengan alam.

Penjelasan kehidupan masyarakat Kampung Naga masih berdampingan dengan baik dengan alam

Masyarakat Kampung Naga sebagai salah satu kampung adat memiliki beberapa sistem pengetahuannya sendiri. Untuk pendidikan secara akademis sendiri belum tersedia di Kampung Naga, sehingga masyarakat perlu bersekolah di luar kampung. Masyarakat memiliki nilai sosial yang berdasarkan suri tauladan dari orang tua untuk menghadapi berbagai sikap dan persoalan yang terjadi. Nilai sosial ini sangat disayangkan tidak ada dalam bentuk dokumen, sehingga hanya secara lisan berupa falsafah. Beberapa contoh nilai sosial dari Kampung Naga ini, seperti:

  1. Rabu tanggal 14 itu ada larangan tidak boleh bekerja di sawah karena jika ada yang bekerja di sawah dan mengalami luka berdarah, maka selama 14 tahun sawahnya akan tidak baik (padinya buruk dan tanahnya tercemar). Selain itu menumbuk padi pun tidak diperbolehkan, termasuk setiap hari Selasa dan Jumat
  2. Anak laki-laki tidak boleh diberi nama Jajang, Ujang, panggilan anak kecil Raja juga tidak boleh. Anak perempuan tidak boleh diberi nama Nur dan Neneng
  3. Ibu yang sedang hamil apabila telah tiba waktu malam dan ingin ke toilet harus membawa api asli, seperti obor dari bambu. Kemudian, jam 5 sore harus sudah ada di rumah. Sang suami pun apabila ada yang memerintah untuk memotong ayam ataupun memancing itu tidak boleh dilakukan, jika dilakukan kemungkinan nanti anaknya akan cacat atau kelainan.

Kampung Naga walaupun terletak dengan jalan, akan tetapi kampung adat tersebut belum menggunakan listrik dalam kehidupan sehari-harinya. Listrik sendiri sebenarnya sudah ditawarkan oleh pemerintah sebelum listrik masuk di jalan raya, namun warga kampung ini menolak dengan alasan mudah konslet, terlebih karena bangunan di desa semuanya terdiri dari bahan yang mudah terbakar. Selain itu, mereka juga menghindari ketimpangan sosial, dalam artian yang memiliki materi lebih dapat membeli apapun dan nantinya dapat terjadi ketidakharmonisan (individual). Masyarakat kampung naga juga amat sangat menjaga budaya dan tradisi sehingga mereka menolak penggunaan listrik. Meskipun minyak tanah semakin langka, tetapi karena tidak menggunakan listrik sudah menjadi kebudayaan maka pemerintah juga memberikan subsidi minyak tanah kepada masyarakat. Walaupun dengan keadaan tidak adanya listrik tersebut menjadi sebuah hal yang positif di Kampung Naga agar tetap kompak menjaga keasliannya.

Alat-alat tradisional yang tidak mengandalkan listrik

Selain tidak menerima masuknya listrik, masyarakat Kampung Naga tetap bisa bertahan menjadi sebuah kampung adat di era digitalisasi ini dengan cara tetap menggunakan bahasa Sunda (minimal bisa berbahasa Sunda), gotong royong membangun rumah satu dengan yang lainnya, dan masyarakat Kampung Naga juga mengutamakan ketenangan, selain itu mereka juga memegang erat amanat, wasiat, dan aturan adat sehingga mereka hidup rukun, kompak, tidak berkonflik, dan damai.

Penggunaan lampu tradisional tanpa menggunakan listrik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline