Konstalasi politik sebagaimana yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini sesungguhnya hanya menjadikan rakyat sebagai penonton. Lebih buruk lagi, rakyat kerapkali menjadi korban dari sebuah pesta pora politik – atau bahkan lebih buruk lagi – pertarungan bisnis-politik para elite.
Para elite yang note bene merupakan para pemimpin yang harus bertanggung jawab memikirkan dan memberi manfaat riil kepada rakyat, dalam konteks politik kekinian, terjebak dalam suatu sistem yang predatoris, mencari selamat untuk diri atau kelompok mereka sendiri. Ketika system demokrasi kita gagal melahirkan relasi dan pemaknaan-pemaknaan ideologis antara rakyat dengan para pemimpinnya maka yang terjadi adalah pragmatisme politik dan transaksi-transaksi ekonomi politik untuk kepentingan sempit. Para elite ini masuk ke dalam Negara, duduk dan berkuasa, tanpa pernah sesungguhnya peduli terhadap kebutuhan primer bahwa pada saat yang sama rakyat butuh diberdayakan dan dimuliakan. Mereka seolah lupa bahwa pencapaian di bidang pendidikan dan kesejahteraan rakyat adalah kunci kematangan serta keberhasilan jalannya sebuah negara-bangsa.
Elite-elite yang lupa ini kemudian menjadi sebuah pemandangan umum dalam wajah politik Indonesia saat ini. Seolah terjadi keterputusan secara sosiologis antara rakyat dengan pemimpinnya. Para elite, baik yang di legislatif dan eksekutif, nasional maupun lokal, sibuk dengan dunianya sendiri tanpa merasa harus memiliki target capaian pembangunan yang harus dilakukan untuk menunjukkan prestasinya sebagaimana yang diaspirasikan oleh dan dijanjikan kepada rakyat konstituennya.
Dari sejumlah pemimpin politik saat ini mungkin cuma Bunda Risma, Walikota Surabaya, yang memiliki karakter kepemimpinan berbeda. Satu lagi baru muncul dari Indonesia Timur adalah Wali Kota Makasar, Danny Pomanto, yang memberikan ikhtiar terbaiknya untuk merubah Kota Makasar menjadi lebih baik. Gubernur Jakarta, Ahok, dikatakan membawa perubahan namun menurut saya Ahok adalah seorang politisi lazim berbeda dengan dua nama yang disebut sebelumnya. Ahok hanya lebih beruntung karena didukung oleh sejumlah pengusaha besar dan rejim politik yang saat ini berkuasa. Secara political skill, Ahok mah tidak istimewa, modalnya hanya manajemen konflik yang dijadikan sebagai pendekatan utama dan isu. Ia hanya beruntung karena punya political resource yang kuat, namun jika kita lihat hasil dan kerja-kerja politiknya tidak ada yang istimewa.
Capaian berbeda, yang tak biasa, dalam skala yang berbeda bisa kita lihat justru pada sosok Hary Tanoe, Ketua Umum Partai Perindo, partai politik pendatang baru. Sosok ini sempat disepelekan sebagai pendatang baru yang hanya gaya-gayaan semata. Namun sejauh ini, ia mungkin adalah satu-satunya ketua umum parpol yang khusus menghadiri pelantikan tiap kepengurusan partainya bahkan sampai tingkat kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Sepanjang setahun ini tak hanya elite petinggi atau pejabat saja yang ia temui. Tak hanya Donald Trumph atau pemimpin dari Hong Kong, Singapura, Eropa atau Tiongkok saja yang ia jumpai. Tapi juga rakyat di berbagai pelosok nusantara: dari mulai lurah di Kulonprogo Yogyakarta, jurnalis dan mahasiswa di Lampung, pedagang kaki lima dan pedagang pasar di Sukabumi, petani di Wonosobo, pedagang pasar di Kupang, tukang becak di Surabaya, ibu-ibu pengajian di Malang, anak-anak muda kreatif di Yogyakarta dan Medan, dan seterusnya. Dan semua pertemuan itu dilakukan bukan dalam konteks kampanye politik tertentu seperti pilkada misalnya. Tapi betul-betul dilakukan untuk mendengar dan mencoba berinteraksi dengan rakyat. Dari pertemuan-pertemuan itu, HT dan Partai Perindo memberikan solusi berupa berbagai program kepartaian dan pemberdayaan masyarakat.
Interaksi rakyat dengan elite, antara yang dipimpin dengan yang memimpin, jika dilakukan secara tulus dan penuh komitmen yang jujur berdasarkan karena perasaan cinta kepada kemajuan bangsa ini, tentunya akan menghasilkan sebuah capaian politik yang luar biasa, jika itu yang diharapkan.
Dalam pandangan saya, Hary Tanoe atau HT ini, konglomerat muda kelahiran Surabaya ini, tanpa kita sadari dan bayangkan, telah berupaya menjadi ksatria politik yang sejati. Sejati karena ia tulus ingin memperbaiki bangsa ini dan berbagai bentuk tipikal politisi predatoris dan elite-elite yang serakah sebagaimana yang sering kita jumpai saat ini. Dan HT sadar bahwa untuk memperbaiki bangsa ini, indikatornya adalah kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan elitenya. Percuma elite-elitenya kaya raya, kerapkali dari korupsi, tapi rakyatnya: petaninya, nelayannya, gurunya, dsb, miskin, terbelakang dan menderita.
HT sebelum ini sempat membantu Nasdem dan Hanura, dua partai yang kemudian ia tinggalkan untuk membentuk partai baru, Partai Perindo (Persatuan Indonesia). Baginya, membentuk partai sendiri yang lebih fokus untuk memperjuangkan kepentingan rakyat akan lebih sesuai dibanding jika harus menumpang dengan partai yang secara ideologis dan kepentingan tidak sejalan dengan dirinya. Dan terbukti, HT dan para anak muda mendirikan Partai Perindo untuk hal tersebut. Di tahun 2016 ini, bukan hanya target struktur partai akan tercapai sampai ke tingkat komunitas-komunitas warga, tapi juga berbagai program kesejahteraan dan kewirausahaan akan digelar oleh Partai Perindo. Dengan kehadiran HT, dengan institusi politik yang mendukung, saya yakin Indonesia akan disuguhkan dengan kualitas dan gaya kepemimpinan politik yang berbeda. Bukan kepemimpinan yang ‘memakan’ rakyatnya sendiri, tapi kepemimpinan yang membawa indikator-indikator keberhasilan, tentunya keberhasilan yang memuliakan rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H