Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Fikri

Belajar Menulis

Pendayagunaan Tanaman Ganja sebagai Alternatif Pengobatan Medis di Indonesia

Diperbarui: 16 Januari 2021   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Setelah 60 tahun masuk dalam golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika tahun 1961, PBB akhirnya menghapus tanaman ganja dari golongan narkotika dan mengesahkan ganja sebagai tanaman medis. Keputusan ini dibuat setelah 3 tahun ditinjau ilmiah oleh WHO dan 2 tahun melakukan diskusi diplomatik. Dari 53 negara anggota yang melakukan voting di PBB, sebanyak 27 negara mendukung dan mengizinkan ganja sebagai tanaman medis serta menghapus ganja dari tanaman yang paling membahayakan di dunia.

Di Indonesia ganja masih termasuk sebagai jenis narkotika golongan satu bersama sabu-sabu, kokain dan heroin. Segala bentuk penggunaan ganja baik medis dan non medis dilarang sesuai dengan undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Undang-undang ini digugat oleh 3 orang ibu-ibu di Mahkamah Konstitusi yang memohon agar diberikan akses tanaman ganja untuk pengobatan anak-anaknya yang sedang menderita penyakit, seperti epilepsi.

Epilepsi adalah serangan kejang yang parah hingga menimbulkan hilangnya kesadaran. Gejala-gejalanya adalah hilang sadar sesaat, kejang, mengerutnya otot wajah tanpa sadar,  dan gerakan-gerakan otot yang berulang atau sekedar perasaan aneh tiba-tiba. Pemicunya terdiri dari beberapa hal seperti kurang tidur, rendahnya gula darah, dan setres atau kebosanan. Sedangkan penyebab dari penyakit epilepsi bermacam-macam mulai dari cedera pada kepala, luka saat lahir, ketidak-seimbangan hormon, sampai serangan virus.

Pasien epilepsi di Indonesia biasanya diobati dengan obat-obatan anti kejang (konvulsan) modern yang berbahan sintetis seperti barbiturat, benzodiazepine, dan sebagainya. Banyak pasien yang menderita sakit tak tertahankan setelah mengkonsumsi obat ini yang mengakibatkan tidak bisa beraktifitas dengan normal hingga mengalami komplikasi fatal. Sebagian besar pasien epilepsi menolak pengobatan tersebut karena efek samping yang ditimbulkan.

Dalam sebuah studi literatur dikatakan bahwa refrensi pemakaian ganja untuk pengobatan penyakit epilepsi sudah aja sejak zaman Ibnu Sinna (Avicenna) dan Al Masi pada abad ke-sebelas, serta Al Badri pada abad ke-lima belas Masehi. Bahkan Medical World News pada tahun 1971 melaporkan bahwa mariyuana atau ganja mungkin adalah obat anti epilepsi paling kuat yang dikenal dunia kedokteran sekarang.

Dalam sebuah percobaan ditemukan bukti bahwa ganja mengandung zat aktif seperti cannabinoid yang dapat mengontrol serangan epilepsi dengan baik. Ganja merupakan satu-satunya tanaman yang didalamnya mengandung sumber CBD. Penelitian yang dilakukan oleh militer Amerika melaporkan bahwa tikus yang diberikan cannabinoid sintetis memiliki kemungkinan 70% lebih rendah terkena serangan epilepsi dan kerusakan otak setelah dipaparkan gas saraf. Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa penggunaan ganja pada pasien epilepsi lama kelamaan akan menumbuhkan toleransi tubuh terhadap molekul THC yang berfungsi untuk mengurangi kejang-kejang. Molekul tanaman ganja ini nantinya bisa menjadi masa depan dalam pengembangan pengobatan penyakit epilepsi.

Dikutip dalam Buku yang berjudul "Hikayat Pohon Ganja", selain epilepsi, ganja juga bisa menjadi alternatif pengobatan bagi pasien yang menderita diabetes. Di Amerika diabetes adalah penyakit yang paling mematikan setelah jantung dan kanker. Indonesia sendiri menempati urutan ke-6 dari sepuluh negara dengan jumlah pasien diabetes tertinggi. Pada tahun 2017 jumlah pasien diabetes mencapai 10,3 juta pasien, 75% pasien berusia 20-64 tahun. Jumlah ini diperkirakan akan terus mengalami kenaikan dan diprediksi pada tahun 2045 meningkat menjadi 16,7 juta pertahun.

Dalam beberapa studi mengatakan bahwa cannabinoid dapat membantu mengurangi gejala-gejala akibat diabetes. Seperti studi yang diterbitkan oleh Journal of Autoimmunity menjelaskan 5 mg CBD setiap hari dapat mengurangi insiden timbulnya diabetes pada tikus percobaan. Sebanyak 86% tikus yang tidak mendapat asupan CBD mengidap diabetes, dan hanya 30% dari kelompok tikus yang diberikan mengidap penyakit ini.

Selain epilepsi dan diabetes, banyak penyakit lain yang bisa disembuhkan dengan menggunakan ekstrak ganja, seperti : alzheimer, glaukoma, gangguan saluran pencernaan, masalah buang air, radang sendi, asma, depresi, insomnia, kanker dan leukimia, osteoporosis, dan sebagainya. Ganja juga bisa digunakan untuk anti biotik dan meningkatkan penglihatan mata di malam hari.

Saat ini negara-negara seperti China, Amerika, Inggris, dan Francis menjadi produsen ganja farmasi terbesar di dunia. Beberapa negara yang sudah melegalkan ganja untuk medis antara lain Kanada, Uruguay, Lesotho, Zimbabwe, Afrika Selatan, Israel, hingga negara tetangga Indonesia yaitu Thailand. Malaysia juga tengah bersiap melegalkan ganja untuk kepentingan medis. Tentu menjadi sebuah kerugian bagi Indonesia jika tidak berupaya untuk ikut melegalkan ganja sebagai alternatif pengobatan medis, mengingat ganja yang tumbuh di daerah pegunungan Aceh merupakan ganja dengan kualitas terbaik.

Sudah saatnya Pemerintah Indonesia membuka riset serta penelitian tentang ganja dan mulai meregulasi penggunaannya untuk keperluan medis. Serta mulai melihat ganja sebagai tanaman yang kaya manfaat, bukan menjadikannya sebagai tanaman hina yang harus dimusnahkan dengan sia-sia, karena tidak ada ciptaan tuhan yang sia-sia termasuk ganja. Dan nantinya Pemerintah bukan hanya fokus untuk menentang penyalahgunaan ganja tetapi juga mendorong untuk pembenargunaan ganja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline