Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau yang belakangan ini lebih akrab kita sapa dengan akronim LGBT. Sebuah fenomena yang menarik dan menjadi bahan berita di media massa dan obrolan-obrolan ringan di warung kopi. Bahkan sampai menjadi perdebatan serius di sebuah televisi swasta yang kemudian menghasilkan sebuah polemik dan perdebatan baru dikarenakan dokter Fidiansyah.,SpKJ yang kini menjabat sebagai Ketua Seksi Religi Spiritualitas dan Psikiatri (RSP) pada Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia dalam diskusi tersebut memberikan pandangannya bahwa LGBT adalah sebuah gangguan kejiwaan. Yang menjadi pondasi beliau adalah sebuah buku “Text book” yang dihadangkan kepada sebuah buku yang digunakan oleh kaum LGBT yang disebut oleh dokter Fidiansyah sebagai buku saku, sehingga buku saku ini tidak layak untuk ditandingkan dengan “Text book” yang dibawanya.
LGBT di Indonesia bukan sebuah hal yang baru, LGBT sudah mulai berkumandang kurang lebih pada tahun 2010 (atau bahkan jauh sebelum itu). Dan sejak saat itu LGBT mulai ramai untuk menjadi bahan diskusi-diskusi formal maupun diskusi-diskusi ringan. Sejenak coba kita pahami kembali apa itu LGBT agar terdapat satu pemahaman yang sama dalam memandang hal ini atau mungkin pembaca kelak mempunyai referensi lain yang melahirkan tulisan dan pandangan lain.
Dahulu di dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Desorder) yang diterbitkan APA (American Psychiatric Association) homoseksualitas dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang termasuk ke dalam gangguan kejiwaan yang pada akhirnya kemudian dikritik dan dikeluarkan dari DSM pada DSM IV oleh APA sendiri, sehingga homoseksualitas kemudian tidak lagi dianggap sebagai sebuah gangguan kejiwaan. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi kaum LGBT untuk memperjuangkan hak-hak mereka agar sama seperti individu lain yang memiliki orientasi sebagai heteroseksual, yang pada saat ini akhirnya beberapa negara telah melegalkan pernikahan sesama jenis yang dihasilkan oleh para pejuang LGBT ini tadi. Kemudian didalam PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa) yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 1993 disebutkan bahwa Homoseksual (Gay dan Lesbian) dan Biseksual tidak termasuk gangguan jiwa. Pada kode F66 Gangguan Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan Dengan Perkembangan dan Orientasi Seksual, di bawahnya langsung tertulis: catatan: Orientasi Seksual Sendiri Jangan dianggap sebagai suatu Gangguan.
Pada akhirnya ada dua pendapat yang berbeda, pernyataan pada PPDGJ tersebut sama seperti yang digunakan oleh dr.Andri FPAM. Beliau adalah seorang Psikiater dengan kekhususan di bidang Psikosomatik Medis. Kemudian pernyataan yang dilontarkan oleh dr.Fidiansyah pun tidak salah, jika beliau menggunakan DSM IV sebagai pedomannya (saya tidak tahu text book yang digunakan oleh beliau, berbagai referensi tidak menjelaskannya). Mengapa terdapat dua pendapat yang berbeda?
Di dalam perkuliahan Kesehatan Mental yang saya jalani, saya mendapatkan sebuah pernyataan demikian “Sosial budaya mempengaruhi kesehatan mental, disatu tempat sebuah perilaku akan dianggap wajar, namun ditempat lain perilaku tersebut bisa jadi tidak diterima atau bahkan dianggap sebuah gangguan kejiwaan”. Berpedoman pada DSM, DSM sendiri diterbitkan oleh para ahli psikiatri Amerika, yang mana penelitian serta pengembangan keilmuannya akan dipengaruhi oleh sosial budaya yang berlaku disana. Maka tidak heran kemudian LGBT keluar dari dalam pedoman tersebut dan dianggap sebagai sebuah perilaku yang wajar. Kemudian pada PPDGJ sendiri, PPDGJ III terbit berpedoman pada DSM IV, dimana pada seri tersebut LGBT bukan lagi sebuah gangguan kejiwaan, maka tidak heran pada PPDGJ III tertulis hal yang sama yakni Homoseksual (Gay dan Lesbian) dan Biseksual tidak termasuk gangguan jiwa.
Dari dua pedoman tersebut dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hal tersebut bukanlah sebuah gangguan kejiwaan, namun lebih kepada orientasi seksual seseorang yang merupakan hak asasi setiap manusia. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika LGBT menuntut persaamaan hak mereka di Indonesia yang kebanyakan masyarakat masih menganggap bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang lazim dalam kehidupan sehari-hari.
Indonesia merupakan negara yang berasaskan kepada Pancasila, yang kemudian didalam sila ke Lima disebutkan “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Mungkin sila ke lima ini merupakan salah satu acuan para aktivis LGBT untuk mendapatkan keadilan dan hak yang sama selain juga menggunakan berbagai acuan lainnya. Namun lagi-lagi yang terjadi dimasyarakat adalah penolakan, hal tersebut dikarenakan perilaku tersebut tidak dapat diterima oleh norma-norma yang berlaku dimasyarakat, sebagai contoh norma agama, tak satupun norma agama yang memperbolehkan atau mengajarkan bahwasanya hubungan sesama jenis adalah sesuatu yang wajar. Inilah yang saya sebutkan diatas tadi bahwa “Kesehatan Mental tidak akan sama pada setiap social budaya”. Di negara-negara yang menganut paham liberal mungkin hal tersebut dapat diterima, namun tidak dengan Indonesia yang menganut kepada Pancasila.
Terlepas dari LGBT sebuah gangguan atau bukan, yang jelas hal tersebut tidak dapat diterima, bukan berarti kita tidak menerima pelakunya, namun yang tidak dapat diterima adalah perilakunya. Ini artinya kita sebagai makhluk social tidak serta merta kemudian mengucilkan atau mendiskriminasi mereka, namun kita juga turut berperan dalam membantu mereka untuk bisa kembali kepada orientasi seksual yang benar dan normal sesuai dengan norma yang ada serta ajaran agama. Yang jelas saat ini adalah bagaimana kita menyikapinya dengan baik dan benar. Serta melakukan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah generasi selanjutnya ikut-ikutan menjadi LGBT. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono menyebutkan bahwa saat ini terdapat ‘LGBT gaul’, yakni LGBT yang sifatnya ikut-ikutan atau bukanlah sebuah bawaan dari individu tersebut. LGBT gaul yang dimaksudkan adalah ketika seseorang yang heteroseksual yang bergaul dengan seorang homoseksual, pada akhirnya bisa saja akan menjadi homoseksual dikarenakan pengaruh aktivitas yang dilakukan bersama atau kegiatan lainnya. Ini artinya homoseksual bisa terjadi pada siapa saja.
Dalam sebuah diskusi tentang LGBT yang saya ikuti, saya mendapatkan wawasan bahwa saat ini Indonesia sedang krisis ‘ayah’, mengapa disebutkan demikian? Karena kebanyakan realita yang terjadi adalah seringkali keluarga yang memiliki anak laki-laki justru lebih sering diasuh oleh Ibu atau bahkan pembantu. Bukan tanpa alasan karena ayah merupakan kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk memberikan kehidupan yang layak kepada keluarganya, sehingga mengharuskan ayah untuk bekerja, pergi pagi sebelum anak bangun dari tidur, pulang di saat anak sudah tertidur kembali. Namun yang terjadi adalah kontak sosial yang kurang dari ayah kepada anak laki-laki, sehingga anak kemudian lebih mengarah kepada sifat feminism yang didapatkan dari Ibu nya. Jika bukan ibu maka pembantu adalah figur yang menjadi modelling nya, hal-hal seperti ini pun bisa jadi menimbulkan orientasi seksual anak laki-laki menjadi berubah dikarenakan sifat kelaki-lakian yang harusnya didapatkan dari ayah tidak didapatkannya.
Masih banyak cara-cara lain untuk kita dapat melakukan tindakan-tindakan preventif agar generasi selanjutnya mengarah pada orientasi seksual yang normal sesuai dengan ajaran agama serta norma dan etika yang berlaku dimasyarakat. Orang tua merupakan guru pertama yang harusnya mengajarkan kepada anak bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Pemahaman yang baik tentang pengetahuan seksualitas tentu akan sangat berguna bagi anak, saat ini pendidikan seks bukanlah lagi sesuatu hal yang tabu, namun memang seharusnya diajarkan agar generasi-generasi selanjutnya menjadi generasi yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H