Tari Jaipong pertama kali digagas oleh Gugum Gumbira dan H. Suanda yang berasal dari Karawang dan Bandung sekitar tahun 1975 (Zulfikar, 2021). Tari ini dikenal dengan gerakan-gerakan yang enerjik dan dinamis, serta penggunaan kostum yang mencolok dan penuh warna. Seiring berjalannya waktu, Tari Jaipong menjadi simbol identitas budaya Sunda dan sering ditampilkan dalam berbagai acara budaya dan upacara adat. Selain itu, Tari Jaipong bukan hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media untuk menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat Sunda. Terdapat tiga jenis tari pada Jaipong, yaitu Tari Putri, Tari Putra, dan Tari Pasangan. Lalu, terdapat juga gerakan dalam tari jaipong antara lain Bukaan, Pecungan, Ngala, dan Mincid (fikriansyah, 2023). Popularitas Tari jaipong juga telah meluas ke luar Jawa Barat, dengan banyak penampilan yang diadakan di tingkat nasional dan internasional, memperkenalkan keindahan budaya Sunda kepada dunia yang lebih luas.
Masuknya Islam ke Jawa Barat membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk seni tari. Terdapat beberapa kostum pada Tari Jaipong yang dibedakan berdasarkan coraknya, seperti Sinjang, Sampur, dan Apok (Ibrahim, 2024). Kostum Tari Jaipong, yang dulunya lebih terbuka, kini berubah menjadi lebih tertutup dan sopan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Modifikasi gerakan tari juga dilakukan untuk mencerminkan kesopanan dan kehormatan yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Selain itu, tema-tema pertunjukan Jaipong kini seringkali mengangkat cerita dan nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam, seperti kebaikan, kejujuran, dan ketuhanan. Tidak hanya itu, masuknya elemen-elemen Islami juga memengaruhi musik pengiring Tari Jaipong, di mana alat-alat musik tradisional Sunda dipadukan dengan lantunan nasyid atau musik bernuansa Islami untuk menambah kedalaman religiusitas dalam pertunjukan. Hal ini menunjukkan adanya upaya untuk menyelaraskan tradisi lokal dengan ajaran agama, sehingga menciptakan harmoni yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik.
Untuk memahami perubahan dalam Tari Jaipong tradisional Sunda yang dipengaruhi oleh Islam, akan menganalisis anasir-anasir tersebut berdasarkan dari Mircea Eliade. Menurut pandangan dari Eliade, realitas terbagi menjadi dua yaitu sakral dan profan (Bahrul, 2024). Eliade juga berpendapat bahwa aspek sakral dalam budaya berfungsi sebagai jembatan antara dunia profan dan yang ilahi, memungkinkan masyarakat untuk mengalami dan memahami dimensi spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks Tari Jaipong, elemen-elemen Islam yang sakral, seperti nilai-nilai moral, etika, dan simbol-simbol keagamaan telah terintegrasi ke dalam praktik tari yang pada awalnya merupakan ekspresi profan. Proses akulturasi ini dapat dilihat sebagai usaha untuk menciptakan harmoni antara dimensi sakral dan profan, di mana nilai-nilai Islam diadaptasi dalam bentuk yang sesuai dengan konteks tradisional Jaipong. Pendekatan Eliade membantu memahami bagaimana masyarakat Sunda yang memeluk Islam mampu menjaga keseimbangan antara tradisi dan agama, sehingga kedua elemen ini dapat saling melengkapi tanpa menimbulkan konflik.
Nilai-nilai moral dan etika Islam kini menjadi bagian integral dari Tari Jaipong. Penggunaan simbol-simbol keagamaan, seperti gerakan yang lebih sopan dan kostum yang lebih tertutup, menunjukkan bagaimana elemen-elemen sakral ini terintegrasi ke dalam seni tari yang pada awalnya bersifat profan. Seniman Tari Jaipong berusaha keras untuk menggabungkan elemen-elemen Islam ini tanpa menghilangkan esensi tradisional Tari Jaipong. Misalnya, mereka tetap mempertahankan gerakan dinamis dan energi khas Jaipong, sambil menambahkan elemen-elemen yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Hal ini juga mencakup penggabungan elemen-elemen cerita yang diambil dari kisah-kisah dalam Al-Quran atau cerita-cerita Islami lainnya, memberikan nuansa religius yang kuat namun tetap menghormati akar budaya tradisional. Para seniman juga sering melibatkan tokoh agama dalam proses kreatif mereka untuk memastikan bahwa penampilan mereka tetap sesuai dengan ajaran Islam, sekaligus menjaga nilai-nilai estetika dan artistik dari Tari Jaipong.
Proses akulturasi yang terjadi dapat dilihat sebagai usaha untuk menciptakan harmoni antara dimensi sakral dan profan. Dalam beberapa pertunjukan Jaipong, integrasi antara elemen sakral dan profan terlihat sangat harmonis. Misalnya, kostum yang lebih tertutup dan gerakan yang lebih sopan tetap mempertahankan keindahan dan dinamika Tari Jaipong. Seniman tari memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ini, memastikan bahwa elemen-elemen sakral Islam terintegrasi dengan cara yang tidak merusak identitas tradisional Jaipong. Dalam hal ini, harmoni yang tercipta bukan hanya dalam aspek visual dan gerakan, tetapi juga dalam pesan-pesan yang disampaikan melalui tarian tersebut. Elemen-elemen Islami yang disertakan tidak hanya menambah kedalaman spiritual, tetapi juga memperkaya makna pertunjukan, menjadikannya lebih relevan bagi penonton yang memiliki latar belakang keagamaan yang kuat. Ini menunjukkan bahwa harmoni antara dimensi sakral dan profan tidak hanya memungkinkan eksistensi bersama, tetapi juga saling memperkaya dan memperdalam makna dari seni tari tersebut.
Akulturasi ini membawa pengaruh signifikan terhadap identitas budaya dan esensi Tari Jaipong. Sementara beberapa puritan budaya mungkin melihat perubahan ini sebagai ancaman terhadap tradisi, banyak yang melihatnya sebagai evolusi alami yang memperkaya seni Tari Jaipong. Komunitas budaya lokal umumnya menerima perubahan ini dengan baik, menghargai upaya seniman dalam menjaga relevansi dan keberlanjutan Tari Jaipong di tengah dinamika sosial yang berubah. Implikasi jangka panjang dari integrasi elemen Islam ini kemungkinan akan memperkuat identitas Tari Jaipong sebagai simbol budaya Sunda-Islam yang dinamis dan adaptif. Adaptasi ini juga menunjukkan fleksibilitas budaya Sunda dalam menyerap dan mengintegrasikan nilai-nilai baru tanpa kehilangan esensi aslinya. Proses ini tidak hanya mempertahankan relevansi Tari Jaipong dalam konteks modern, tetapi juga memperkaya warisan budaya Sunda dengan menambah dimensi baru yang lebih kompleks dan beragam.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bagaimana Islam memengaruhi seni Tari Jaipong tradisional Sunda di Jawa Barat melalui akulturasi yang mencakup kostum, gerakan, dan tema pertunjukan. Dengan menggunakan teori sakral dan profan dari Mircea Eliade, dapat dipahami bahwa elemen-elemen sakral Islam berhasil diintegrasikan ke dalam seni tari profan tanpa menghilangkan esensi tradisionalnya. Proses ini menciptakan harmoni antara dimensi sakral dan profan, yang pada akhirnya memperkaya dan memperkuat identitas budaya Tari Jaipong. Penelitian ini berkontribusi dalam studi budaya dan agama, serta memberikan saran untuk penelitian lebih lanjut dan pelestarian seni tari tradisional. Di masa depan, penelitian lanjutan dapat menggali lebih dalam tentang cara-cara inovatif lain dalam mengintegrasikan elemen sakral dan profan, serta mengeksplorasi bagaimana adaptasi ini dapat diterapkan pada bentuk-bentuk seni tradisional lainnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bahrul. (2024, mei 30). Mircea Eliade: Antara yang Sakral dan Profan. Diambil kembali dari santrikeren.id: https://santrikeren.id/mircea-eliade-antara-yang-sakral-dan-profan/
fikriansyah, i. (2023, Desember 15). Mengenal Sejarah dan Asal-usul Tari Jaipong dari Jawa Barat. Diambil kembali dari detik.com: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7090955/mengenal-sejarah-dan-asal-usul-tari-jaipong-dari-jawa-barat
Ibrahim, K. (2024, Maret 16). Tari Jaipong. Diambil kembali dari sipintar.net: https://www.sipintar.net/tari-jaipong/