Pada awalnya terdakwa yang bernama Rival Wibowo pria asal Ampenan, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang datang ke bali dengan menumpang kendaraan truk untuk mencari pekerjaan. Karena kelelahan sesampainya dibali terdakwa istirahat diemperan toko kawasan Jalan Gatot Subroto Timur, Denpasar. Setelah bangun terdakwa merasa lapar dan akhirnya mempunyai niatan untuk mencuri. Lalu terdakwa berjalan kaki mencari sasaran dan akhirnya melihat Rumah Makan KE and ME. Karena keadaan sepi, terdakwa lalu masuk melalui pintu depan dan melompati rantai besi yang terpasang. Ketika masuk, terdakwa melihat tas kecil diatas meja milik Gede Yusianno (saksi) dan mengambilnya. Kemudian terdakwa membuka tas itu dan mengambil satu power bank, satu jam tangan, uang Rp. 20.000 dan selembar uang pecahan satu dolar.
Barang-barang yang terdakwa ambil, kemudian dimasukkan ke saku celananya. Sedangkan tas kecil itu terdakwa buang didekat pot bunga.
Usai mengambil barang-barang tersebut terdakwa pergi meninggalkan rumah makan itu. Namun apes, Nyoman Suantara (saksi) yang melihat gerak-gerik terdakwa mencurigainya. Lalu saksi Suantara membangunkan saksi Yussianno. Kedua saksi pun mengejar terdakwa dan melakukan interogasi. Saat diinterogasu terdakwa jujur mengakui perbuatannya. Lalu terdakwa dibawa dan diamankan ke Polsek Denpasar Timur untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Hasil dari sidang terdakwa rival dihukum satu tahun penjara karena kasus pencurian.
Melihat duduk perkara kasus tersebut maka dalam pandangan hukum positif Saudara Rival Wibowo dapat terbukti telah mencuri satu power bank, satu jam tangan, uang Rp. 20.000 dan selembar uang pecahan satu dolar, sehingga menurut pandangan KUHP apa yang telah dilakukan telah memenuhi unsur sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 362 KUHP, yang berbunyi:
"Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang keseluruhannya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enampuluh rupiah".
Hukum di Indonesia masih terkesan tebang pilih, artinya hukum runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Runcing kebawah karena selama ini apabila hukum mengenai obyek rakyat kecil, maka hukum akan tegas bak pedang yang tajam. Sehingga hukum positif akan dijalankan dengan segera tanpa melihat sosio histori dari perbuatan yang dianggap tindak pidana. Sedangkan apabila hukum mengenai pejabat tinggi ataupun konglomerat hukum terkesan loyo bak pedang yang sudah berkarat sehingga sekeras apapun pedang itu diancamkan tidak akan mempan.
Secara hukum positif, polisi, hakim dan jaksa tidak bisa disalahkan karena mereka hanya melaksanakan tugas yang memenuhi rumusan Undang-Undang yang tidak memberikan kesempatan para penegak hukum untuk menggunakan hati nuraninya. Walau hakim diberikan kebebasan sesuai hati nuraninya akan tetapi bukti sudah akurat dan terdakwa juga sudah mengakui kesalahannya, maka tidak ada alasan hakim untuk memutuskan. Akan tetapi menurut kaca mata masyarakat menganggap hal tersebut tidak adil atas keputusan hakim sehingga perlu adanya upaya penegakan hukum positif yang dibarengi dengan pembenahan sistem hukum pidana baik segi substansi, struktur, maupun budaya hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H