Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Fauzi Romadhon

Mahasiswa di Universitas Brawijaya

Geopolitik Laut China Selatan: Ancaman Tersembunyi terhadap Kedaulatan dan Ketahanan Pangan Indonesia

Diperbarui: 25 Mei 2024   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tempat Pelelangan Ikan (Sumber: Napitulu & Nayana, 2022)

Ketahanan Pangan 

Ketahanan pangan adalah suatu kemampuan negara yang secara berkelanjutan mampu untuk memastikan ketersediaan komoditas pangan yang beragam, bergizi, mencukupi, dan terjangkau bagi seluruh penduduk pada negara tersebut. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah memiliki penduduk lebih dari 270 juta jiwa, kerap mengembor-gemborkan bahwa ketahanan pangan telah menjadi salah satu prioritas penting dalam menjaga kedaulatan negara kita. Sebagai negara maritim, Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi yang sangat unggul pada sektor perikanan dan kelautan karena memiliki lautan yang luas, posisi geostrategis, kekayaan laut, bidang perikanan dan kelautan, serta budaya bahari. Komoditas perikanan sangat berpeluang menjadi salah satu sumber pakan berprotein hewani yang tinggi dan dapat membantu ketercukupan gizi di Indonesia. Namun, beberapa waktu ini Indonesia kurang memanfaatkan potensi tersebut di tengah tingkat konsumsi ikan yang tinggi di masyarakat (Rahmawati et al., 2023). Dikutip dari berita yang diterbitkan Consumer News and Business Channel (CNBC) TV Indonesia pada 16 Juli 2023, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa pada awal tahun 2023, Indonesia telah mengimpor komoditas ikan sebesar 18,53 juta kilogram atau naik sebesar 219,95% apabila dibandingkan tingkat import yang sebesar 5,79 juta kilogram pada awal tahun 2022 (CNBC, 2023). Hal ini dapat dilihat hubungan antara kenaikan impor tersebut dengan tingkat konsumsi komoditas ikan di Indonesia yang setiap tahunnya meningkat, pada tahun 2018 adalah sebesar 50,69 kg/kapita/tahun dan meningkat di angka 56,48 kg/kapita/tahun pada Tahun 2022 (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2023). Kebijakan dan peran aktif pemerintah Indonesia menjadi titik penting dalam untuk mewujudkan ketahanan pangan, salah satunya adalah memperkuat sektor perikanan yang berkelanjutan dan mengoptimalisasi perikanan tangkap di perairan laut Indonesia. Salah satu perairan laut yang potensial dikembangkan adalah perairan di Laut China Selatan.

Potensi dan Permasalahan di Laut China Selatan 

Laut China Selatan adalah laut marginal yang membentang dari Kepulauan Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan dengan luas lebih dari 3,5 juta kilometer persegi. Laut China Selatan memiliki segudang potensi yang sangat besar pada sektor perikanan dan kelautan. Laut ini merupakan salah satu jalur perairan tersibuk di dunia untuk perdagangan global dan kekayaan alam dasar lautnya diyakini menyimpan cadangan minyak dan gas dalam jumlah yang sangat besar. Laut China Selatan juga merupakan salah satu ekosistem laut yang paling kaya akan keanekaragaman hayati dan ditetapkan sebagai pusat keanekaragaman hayati laut maksimum (Huang et al., 2015). Namun, hal ini tidak dimbangi atas penerapan perikanan yang berkelanjutan dan konservatif. Laut China Selatan saat ini mengalami penangkapan ikan yang berlebihan atau overfishing yang menyebabkan kerusakan terumbu karang, pasokan ikannya telah berkurang sebesar 70-95 persen sejak tahun 1950-an, dan tingkat tangkapannya telah menurun sebesar 66-75 persen selama 20 tahun terakhir (Poling, 2019). Hal ini diperparah dengan sedikitnya perhatian oleh pemerintah dan akademisi akan penelitian dan konservasi di wilayah ini. Hal ini disebabkan karena konflik politik antar negara-negara yang mengakui kedaulatan wilayahnya di Laut China Selatan, baik Tiongkok, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, dan Vietnam (Albano, 2018).

Wilayah Laut China Selatan memang telah menjadi medan perseteruan selama beberapa dekade terakhir. Dari sudut pandang garis batas historis, masing-masing negara mempunyai klaim teritorial atas pulau-pulau dan formasi geografis di sebagian wilayah Laut Cina Selatan (Sacks, 2022). Berbicara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), negara-negara tersebut telah berpijak dan menghormati Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS). Namun, Republik Rakyat China atau yang dikenal dengan Tiongkok menggunakan historical background sebagai klaimnya dan saat ini masih menjadi pihak terbesar dan paling aktif dalam perselisihan tersebut. Perseteruan baru-baru ini adalah saat Kementerian Sumber Daya Alam Tiongkok resmi merilis peta standar China edisi 2023 yang memperluas klaim atas wilayah laut tersebut dengan kawasan laut bagian timur Taiwan, sehingga menambah satu garis putus yang dari sembilan menjadi 10 garis putus-putus atau dikenal dengan ten-dash line (Arbar, 2023). Pada peta tersebut, Tiongkok berupaya dengan cepat untuk memperkuat posisinya di Laut China Selatan. Hal ini mereka raih dengan mempercepat pembangunan pulau buatan dan mendirikan pangkalan militer, landasan udara, pelabuhan, dan rudal permukaan ke udara di bagian wilayah yang kaya akan sumber daya energi dan perikanan (Prosser, 2020). Pembangunan pangkalan-pangkalan ini tentunya melanggar kedaulatan negara lain serta berdampak negatif terhadap terumbu karang dan kehidupan laut di sekitarnya.

 Konflik dan Tindakan Kriminal di Laut China Selatan

Badan Keamanan Laut (Bakamla) mendeteksi kapal coast guard China (CCG) dengan nomor lambung 5204 di perairan Natuna(Sumber: Yuniar, 2020)

Pemerintah Tiongkok juga melakukan menerapkan beberapa taktik untuk mengeksploitasi dan mencari kelemahan pada penjagaan wilayah laut Indonesia di Laut China Selatan. Salah satunya adalah dengan menggerakan pasukan kapal China Coast Guard (CCG) untuk menyusup ke perairan Natuna yang juga bertujuan untuk mengawal kapal-kapal ikan mereka. Salah satunya adalah pada Sabtu, 12 September 2020, dimana saat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Operasi Cegah Tangkal Tahun 2020, mereka mendeteksi adanya kapal CCG dengan nomor lambung 5204 memasuki perairan Natuna Utara (Yuniar, 2020). Dinyatakan bahwa Bakamla dengan CCG bersitegang soal klaim wilayah negara masing-masing selama dua hari, dimana CCG menyatakan bahwa mereka berhak untuk berpratoli dibawah yurisdiksi Tiongkok. Kejadian serupa terulang kembali pada 8 September 2022, dimana beberapa kapal ikan asing yang diduga berasal Vietnam, Taiwan dan Tiongkok memasuki perairan Laut Natuna Utara tanpa izin, bahkan kapal CCG melakukan intimidasi kepada nelayan lokal kita yang sedang mencari ikan (Sahputra, 2022). Hal ini tentunya menunjukkan bahwa beberapa negara Asia, terutama Tiongkok telah melanggar kedaultan negara kita, menghiraukan ZEE yang telah ditetapkan Indonesia, dan melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing. Tidak hanya kejadian-kejadian tersebut, diduga sindikat kejahatan telah memanfaatkan celah ini. Kapal asing ilegal dari China bekerjasama dengan kapal pengangkut ikan Indonesia bersama-sama melakukan kejahatan luar biasa di beberapa pelabuhan dan wilayah perairan Indonesia selama beberapa bulan. Pada 14 April 2024, aparat pengawasan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementria Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) menangkap kapal ikan Indonesia yang ilegal bernama KM Mitra Utama, dimana bersama dua kapal Tiongkok, yaitu Run Zeng (RZ) 03 dan RZ 05 melakukan kejahatan berupa memasok 100 ton ikan yang ditangkap secara ilegal, 150 ton solar, dan 55 anak buah kapal yang dipindah ke kapal asing tersebut di Laut Arafura, Maluku (Grahadyarini, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah Indonesia dalam penegakan hukum di perairan Laut China Selatan masih kurang efektif dan banyak lubang kesempatan yang digunakan berbagai pihak untuk melakukan tidak kejahatan dan pelanggaran. Hal ini tentunya akan selalu mengganggu aktivitas perikanan, mengurangi tangkapan ikan yang tersedia, dan menimbulkan konflik di laut yang dapat menghambat akses ke wilayah perairan yang kaya sumber daya tersebut.

Penyelesaian Konflik Laut China Selatan 

Berbagai konflik tersebut dapat diurai dan dibantu dengan memanfaatkan alat-alat teknologi terkini dan jalur diplomasi. Potensi penggunaan alat-alat modern oleh garda penjaga wilayah laut Indonesia, seperti Automatic Identification System (AIS), Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS), dan Synthetic Aperture Radar (SAR) dapat meningkatkan pemantauan terhadap armada-armada ikan asing ilegal dan mengurangi frekuensi insiden yang tidak terduga antar kapal (Poling, 2019). Pemerintah Indonesia harus bergerak dan menginvestasikan dalam jumlah yang besar pada berbagai teknologi untuk membantu menjaga kedaulatan Indonesia. Sengketa di Laut China Selatan isu yang kompleks ini juga memerlukan kerja sama internasional multi-sektoral untuk mencapai penyelesaian secara damai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline