Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Fauzi

Sarjana Pengangguran

Fakta Ketegangan China dan Taiwan, Serta Alasan Kunjungan Nancy Pelosi

Diperbarui: 13 Agustus 2022   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nancy pelosi (sumber by kompas)

Pada tanggal 2 Agustus lalu, Nancy Pelosi Ketua DPR Amerika Serikat berani melakukan kunjungan ke Taiwan, meskipun ada ancaman keras dari China. Ini adalah pertama kalinya dalam 25 tahun seorang pejabat senior Washington mengunjungi pulau itu. Segera setelah itu, Beijing melakukan latihan terbesar yang pernah ada untuk mensimulasikan serangan terhadap Taiwan. Bayangkan betapa berbahayanya!

Untuk apa Nancy Pelosi datang ke pulau itu? Menurut deskripsi Pelosi, hal ini dilakukannya untuk bergabung dengan Taiwan yang demokratis melawan China yang otokratis. Ini bukanlah kunjungan sembarangan yang dimaksudkan untuk mempererat persahabatan semata. Melainkan dianggap sebagai ujian Amerika Serikat untuk melawan China, serta melihat apakah mereka siap berperang. Pada saat yang sama juga Washington mengirimkan pesan ke Beijing, bahwa Amerika Serikat dapat dan bisa campur tangan untuk melindungi Taiwan apabila pulau itu diserang. Mengapa Amerika Serikat datang pada titik ini? 

Kilas Balik Ketegangan China dan Taiwan

Sejak tahun 2000, Taiwan berada di bawah kepemimpinan presiden Chen Shui-bian, seorang pendukung kebijakan kemerdekaan penuh dari China. Selama masa jabatannya, dirinya membuat marah Beijing berkali-kali. Contohnya saja mempromosikan pembelian senjata senilai 18 Milyar dollar untuk meningkatkan pertahanan. Serta mencoba melakukan referendum, untuk mengubah konstitusi dan membuat Taiwan merdeka. Dari hal inilah, mengapa China pada tahun 2005 memiliki alasan memberlakukan undang-undang untuk mengizinkan penggunaan kekuatan apabila Taiwan mendeklarasikan kemerdekaan. 

Pada tahun 2008, Ma Ying-jeou menjadi presiden berikutnya. Dirinya datang dengan slogan, "Tidak ada persatuan, Tidak ada kemerdekaan, dan Tidak ada penggunaan kekuatan." Namun untuk menikmati manfaat ekonomi dari berbisnis dengan Beijing, dirinya menyetujui kebijakan satu China. Menurut interpretasi dari Beijing, kebijakan ini berarti Taiwan adalah bagian dari China. Di sisi lain, Taiwan setuju bahwa hanya ada satu China, akan tetapi tidak menerima pulau itu sebagai bagian dari daratan China. Meskipun begitu China tidak peduli, karena China hanya menginginkan Taiwan untuk menandatangani dukungan kebijakan satu China. Nantinya China yang akan menjelaskannya dengan caranya sendiri kepada dunia.

Berkat kepemimpinan Ma Ying-jeou, hubungan Taiwan dan China memasuki zaman keemasan. Kedua belah pihak fokus pada kerjasama di bidang ekonomi dan mempertahankan status quo.

Namun masa-masa indah itu tidak bertahan lama, karena pada tahun 2016 dengan terpilihnya Tsai Ing-wen menjadi presiden. Begitu menjabat, dirinya menyatakan dan menolak kebijakan satu China. Pada akhirnya pihak Beijing marah dan memutuskan semua komunikasi diplomatik antara kedua belah pihak. Hal ini berarti kedua pemerintah tidak lagi dalam negosiasi untuk reunifikasi damai. 

Saat ini politik di Taiwan telah mengalami banyak perubahan. Dengan melemahnya Kuomintang atau Partai Nasionalis Tiongkok, serta kompromi ideologis dan konsesi ke China. Adapun Partai Progresif Demokratik yang dipimpin Tsai Ing-wen menjadi partai terkuat. Mereka memiliki pola pikir untuk menjadikan Taiwan negara yang sepenuhnya merdeka. Meskipun pemimpin mereka tidak berani menyebut kata kemerdekaan, tapi apa yang mereka lakukan adalah mempromosikan demokrasi dan kebebasan. Serta menolak untuk bernegosiasi dan menolak claim Beijing atas pulau tersebut. Jelas sekali ada niat untuk memisahkan diri dari China. 

Singkatnya, sekarang ini China sangat marah dan tidak mau lagi berbicara dengan lembut, "Kami tidak berjanji untuk meninggalkan penggunaan kekuatan" kata Xi Jinping. 

Sedangkan di pihak Amerika Serikat pada Oktober 2021 lalu, Presiden joe Biden ditanya dalam sebuah wawancara, "Apakah Amerika mengirim pasukan untuk membantu Taiwan ketika diserang oleh China." Joe Biden menjawab, "Mungkin.'

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline