Di Indonesia, data masih menjadi permasalahan klasik. Dikarenakan pemerintah sendiri sering mengaku kesulitan mencari data antar-lembaga terkait data rakyatnya.
April 2021 lalu, Bappenas sudah menyelenggarakan forum Satu Data Indonesia tingkat pusat pertama bersama kementerian dan lembaga terkait. Forum SDI telah menetapkan data prioritas 2021, terutama untuk kebutuhan mendesak nasional. Sebenarnya proyek SDI sudah dimulai ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 39 di tahun 2019.
Selain karena sulitnya mencari data, SDI juga lahir karena banyaknya versi data dari sumber yang berbeda-beda. Sehingga membuat kualitas dan evaluasi kebijakan menjadi tidak akurat. Nantinya seluruh data akan bermuara di portal terbuka SDI sebagai data publik, untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih yang kerap terjadi. Tumpah tindih inipun sering terjadi akibat tidak adanya standarisasi. Padahal, proses pengumpulan data seharusnya memiliki standar dan metadata yang seragam, agar perbedaan antara data menjadi kecil dan tidak signifikan.
Pada forum tersebut, koordinator SDI juga turut meminta agar kementerian dapat menjaga standar yang sudah disiapkan oleh BPS. Disisi lain, permasalahan data juga diperparah oleh mekanisme verifikasi dan validasi yang belum terkelola dengan baik, serta kurangnya SDM yang kompeten untuk mengkomputasi dan menganalisa data.
Oleh karena itu, SDI hadir sebagai badan sentral untuk memproses semua data yang tadinya diolah oleh berbagai lembaga. Untuk menjamin pertanggungjawaban, setiap kategori data yang ditempatkan di bawah lembaga untuk ditunjuk sebagai Dewan Pembina di tingkat pusat. Saat ini, ada tiga instansi yang ditetapkan sebagai pembina, karena sudah memiliki Undang-Undang yang jelas dalam mengatur keahliannya. Namun, SDI juga membuka ruang untuk menunjuk pembina baru untuk mengakomodir kebutuhan akan jenis data baru yang bersifat cross-sectional atau tidak berada di bawah lembaga tertentu.
Di Indonesia, masalah data memang sering menjadi penghambat. Apalagi saat penyaluran kebutuhan yang mendesak seperti covid-19 kemarin. Pemerintah dituntut untuk cepat dan tepat dalam penyaluran, namun langkah pemerintah justru terhambat karena permasalahan data ini.
Karena tumpang tindih, banyak warga yang seharusnya berhak malah tidak tercatat dalam DTKS Kemensos dan tidak mendapat bantuan. Sebaliknya, banyak penerima terdaftar malah tidak memiliki NIK, terdaftar ganda, atau sudah meninggal dunia. Sekarang data ini lebih tidak valid lagi, sebab kriteria penerima bantuan didasarkan pada penghasilan rumah tangga yang sekarang sudah banyak berubah karena pandemi. Kemensos pun mengaku DTKS terakhir kali diperbarui secara masif pada 2015 silam.
Padahal, data untuk kepentingan bansos ini seharusnya diperbarui minimal 2 tahun sekali. Ketika pandemi melanda, pemerintah kemudian didesak untuk memprioritaskan pembenahan data agar penyaluran bansos tahun 2021 tepat sasaran. Tapi pemerintah juga tidak bisa menunggu sampai pembaruan data selesai, karena bantuan harus tetap disalurkan.
Nantinya, SDI akan memuat data yang mencakup berbagai sektor. Masih banyak juga program lainnya yang akan diuntungkan jika permasalahan data dibereskan. Di sisi lain, pemerintah optimis percepatan implementasi SDI akan mampu mengurai benang kusut masalah manajemen data, namun proyek ini akan sia-sia tanpa implementasi yang baik. SDI pun sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mereformasi program dan birokrasi melalui pendataan elektronik dan transformasi digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H