Mahasiswa adalah individu yang menjalani pendidikan tinggi untuk mencapai kompetensi dalam bidang tertentu yang kelak menjadi modal untuk memasuki dunia kerja. Proses ini tidak hanya menuntut pemahaman akademis, tetapi juga keterampilan hidup lainnya, seperti manajemen waktu dan pengambilan keputusan.
Seiring berjalannya waktu, mahasiswa dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari tuntutan akademik seperti tugas dan ujian, hingga keterlibatan dalam organisasi atau kegiatan di luar perkuliahan yang bisa menambah beban pikiran. Beban yang tidak sedikit ini sering kali membuat mahasiswa berada di bawah tekanan tinggi, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi memengaruhi kesejahteraan mental mereka.
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental merupakan kondisi kesejahteraan di mana setiap individu dapat menyadari potensi dirinya, mampu mengatasi tekanan hidup yang wajar, bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada komunitasnya.
Kesehatan mental menjadi aspek penting bagi mahasiswa dalam menghadapi tantangan akademik dan non-akademik. Namun, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental masih kurang di kalangan mahasiswa yang cenderung lebih fokus pada capaian akademis daripada kesejahteraan emosional mereka. Oleh sebab itu, penguasaan kesehatan mental menjadi hal yang krusial untuk mendukung kesuksesan mereka selama menjalani masa perkuliahan.
Berdasarkan data survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia, sekitar 19 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional, dan sebagian besar di antaranya adalah generasi muda. Data ini menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental bukanlah masalah yang bisa diabaikan, khususnya di kalangan mahasiswa yang memiliki rutinitas dan tekanan akademik yang tinggi.
Jika tidak ditangani, kesehatan mental yang terganggu dapat menurunkan performa belajar dan berdampak negatif terhadap prestasi akademis serta kehidupan sosial mahasiswa.
Sayangnya, banyak mahasiswa yang masih menganggap beban tugas, proyek, dan keterlibatan dalam organisasi sebagai suatu kewajiban yang harus dijalani tanpa mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan mental.
Kebiasaan menunda pekerjaan hingga mendekati tenggat waktu dan kurangnya kesadaran akan manajemen stres menjadi faktor yang memperparah kondisi kesehatan mental mereka. Hal ini akhirnya dapat berujung pada perasaan tertekan, cemas, bahkan depresi yang sering kali tidak terdeteksi sejak dini.
Untuk membantu mahasiswa menghadapi beban perkuliahan sambil menjaga kesehatan mental, mereka perlu membangun kebiasaan yang mendukung kesejahteraan emosional.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan mahasiswa secara mandiri antara lain dengan mengatur jadwal secara efektif, menyediakan waktu untuk beristirahat, berolahraga, dan berbagi cerita dengan teman sebaya untuk mengurangi stres. Langkah-langkah ini dapat menjadi solusi internal bagi mahasiswa untuk lebih tanggap dalam mengelola tekanan yang muncul selama masa perkuliahan.
Selain itu, diperlukan dukungan dari pihak eksternal, seperti kampus, keluarga, dan lembaga terkait, untuk menyediakan layanan kesehatan mental yang dapat diakses oleh mahasiswa.