Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Fathan

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Jurnalistik

Menggabungkan Adab dan Pengetahuan dalam Seni Berbicara yang Profesional

Diperbarui: 26 Juni 2024   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/dok. pri

Oleh: Syamsul Yakin dan Muhammad Fathan Sahl Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Sebagai sebuah ilmu, dakwah dan retorika haruslah bebas nilai. Artinya, ilmu dakwah dan ilmu retorika harus dikembangkan semata-mata atas dasar ilmu pengetahuan. Baik ilmu dakwah maupun ilmu retorika tidak boleh dikembangkan berdasarkan pertimbangan selain ilmu pengetahuan, misalnya pertimbangan adab.

Namun, adab nampaknya ada dalam ilmu dakwah dan ilmu retorika itu ada adab. Artinya, meskipun kedua ilmu tersebut bebas nilai, namun tetap harus mempertimbagkan kebenaran dan implikasi dari apa yang terjadi. Dengan kata lain, ilmu dakwah dan ilmu retorikan berkaitan dengan adab yang bersumber dari ajaran agama dan budaya.

Jadi adab dan pengetahuan harus dipadukan dalam retorika dakwah. Dalam hal ini berlaku pepatah "ilmu bukan untuk ilmu", melainkan ilmu untuk kebaikan dan kemudahan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain, ilmu itu untuk kemanusiaan. Dalam konteks ini, pentingnya adab menjadi semakin penting.

Padahal, retorika dakwah bukan hanya ilmu berdakwah yang efektif dan efisien, menarik dan atraktif, tetapi juga aturan kesopanan, keramahan, dan budi pekerti yang agung. Lebih jauh lagi, misi aslinya bersifat subjektif, dogmatik, dan penuh nilai. Retorika pada dasarnya bersifat budaya dan terpisah dari satu sistem nilai.

Ketika retorika muncul dari rahim budaya, merangkak jadi seni bertutur, tumbuh menjadi pengetahuan, dan diakui secara permanen sebagai ilmu, maka pada titik tertinggi inilah retorika perlu didisplinkan dengan adab. Kebudayaan, seni, pengetahuan, dan ilmu manusa harus dipadukan dengan adab.

Hal yang sama berlaku untuk pekerjaan misionaris. Yang bermula dari dogma atau ajaran agama, kemudian menjadi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang belum teruji secara ilmiah dan kemudian secara ajeg menjadi ilmu dakwah yang tentunya harus diiringi adab. Dalam berdakwah terdapat sifat kesopanan, keramahan, dan budi pekerti yang melekat pada diri seorang dai.

Menggabungkan adab dan ilmu dalam retorika dakwah memerlukan dua hal. Pertama, komodifikasi misi telah tergeser. Komodifikasi dakwah menjadikan sebagai komoditas atau barang dagangan. Hingga saat ini,  komodifikasi dakwah dilindungi okeh profesionalisme dan manajemen. Para dai yang berpengetahuan dan beradab menolak komodifikasi dakwah.

Dai dan mitra dakwah dilarang keras terlibat dalam membisniskan dakwah. Namun para dai dan mitra dakwah dapat melakukan dakwah karena banyak dari Nabi, para sababat, dan ulama banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Dai harus mempraktikkan apa yang dia dakwahkan, bukan hidup dengan berdakwah.

Kedua, memadukan ilmu adab dan ilmu dalam retorika dakwah akan menjadikan dai menjadi profesional dalam arti sebenarnya. Arti profesionalme bukanlah menjadi terkenal, mempunyai manajer, dan harus dibayar, tetapi memiliki adab dan ilmu dalam berdakwah dan beretorika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline