Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Fariz Akbar

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta Angkatan 2022

Cinta dan Feodalisme, Sebuah Pandangan Umum terhadap Naskah Drama "Bila Malam Bertambah Malam" Karya Putu Wijaya

Diperbarui: 27 Maret 2024   03:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay

Cerita Malin Kundang ternyata membawa pengaruh yang tidak selalu positif bagi perkembangan zaman. Terlebih menyoal parenting. Selama ini, yang disadari oleh masyarakat adalah sikap kedurhakaan selalu berasal dari anak. Doktrin itu melekat pada masyarakat. Apabila anak mengingkari orang tua, maka ia berhak disebut durhaka. Lantas, bagaimana jika apa yang terjadi adalah sebaliknya? Tentu hal semacam itu banyak terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Yang jadi persoalan adalah bisakah kasus tersebut disebut sebagai kedurhakaan orang tua terhadap anak? 

Memang dalam pengertian KBBI durhaka berarti ingkar terhadap perintah. Dengan Tuhan dan orang tua dijadikan sebagai contoh utama. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa selain Tuhan dan orang tua dapat didurhakai atau diingkari perintahnya. Bahkan, KBBI mengamini dengan tidak berhenti pada contoh orang tua, melainkan menggunakan pemerinci "dan sebagainya". 

Mereka yang percaya doktrin kedurhakaan lewat cerita Malin Kundang mungkin akan mengutuk Ngurah menjadi batu. Hanya saja, seperti Ngurah, Nyoman, dan Wayan, membaca naskah drama karya Putu Wijaya ini memerlukan pemikiran yang terbuka. Benar-benar terbuka. Apabila tidak demikian, emosi kita akan diacak-acak. Pada latar waktu yang menggambarkan betapa masih kentalnya feodalisme, sulit membayangkan bahwa seorang anak bisa memiliki tujuan hidupnya sendiri. Kenyataannya, semuanya harus selalu di bawah kendali orang tua, budaya, adat istiadat, agama, dll. Terlepas tradisi tersebut merupakan hal baik atau buruk. 

Padahal, Gusti Biang sudah menyadari dan bahkan merasakan nikmatnya cinta itu sendiri. Ia rela berpura-pura demi melanggengkan tahta kebangsawanannya. 

Cinta? Apa itu cinta, itu hanya ada dalam kidung-kidung Smarandanamu. 

Begitu ungkap Gusti Biang saat menerima penjelasan Wayan setelah mengetahui fakta bahwa Ngurah anaknya akan menikahi Nyoman karena alasan cinta. 

Pada akhirnya, kita semua dapat menarik kesimpulan bahwa cinta itu benar-benar buta dan membutakan. Dari keempat tokoh yang jelas tergambar, semuanya memiliki bukti cinta yang tidak dapat dibersamai oleh akal budi yang rasional. Antara Ngurah dan Nyoman, pengabdian Nyoman kepada Gusti Biang, serta yang terakhir dan paling mengejutkan yaitu antara Gusti Biang dan Wayan. 

Nyoman sendiri, sebelum ia diusir dari puri membuktikan bahwa cinta tidak dapat dihitung secara kuantitatif.

Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulanbulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebih harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambillah semua itu sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.

Penggambaran Putu Wijaya terhadap stigma yang selama ini melekat ditambah usaha untuk melepaskannya tentu memiliki tujuan yang jelas. Tuntutan zaman.

Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi, bagaimana Gusti Biang? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline