Lihat ke Halaman Asli

Pemanasan Global: Antara Harapan Publik dan Kebijakan Pemerintah Melalui Food Estate

Diperbarui: 19 Desember 2023   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada abad ke-21 masalah penipisan ozon dan pemanasan global menjadi satu satunya masalah krusial yang sangat harus diperhatikan oleh masyarakat global. Kedua masalah tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan di bumi. Seluruh negara dan lapisan masyarakat di dunia semakin gencar dan meningkatkan kesadaran akan permasalahan ini. Namun bagaimana kebijakan Pemerintah dalam merespon hal ini?

Berdasarkan survei dari UNDP yang bertajuk “People’s Climate Vote” survei opini publik mengenai perubahan iklim terbesar yang pernah dilakukan. Sebanyak 1.2 miliar responden dan menjangkau 50 negara yang mencakup 56 persen populasi dunia. Tujuan dari survei tersebut adalah untuk memperluas pengetahuan masyarakat terkait solusi mengenai perubahan iklim dan mempertanyakan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh stakeholder menurut mereka.

Di dalam Survei “People’s Climate Vote” tersebut ditemukan hasil survei dari masyarakat di 50 negara dan totalnya berjumlah 64% masyarakat menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan sebuah kondisi yang kritis dan darurat hal ini menandakan dengan jelas bahwa para pengambil Keputusan harus meningkatkan ambisinya.

Terdapat empat kebijakan yang diharapkan oleh para responden terhadap Pemerintah dalam merespon perubahan iklim ini dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan sebagai berikut. Pertama, Konservasi hutan dan lahan dengan dukungan sebesar 54%. Kedua, Tenaga surya dan angin serta energi terbarukan sebesar 53%. Ketiga, Teknik Pertanian Ramah iklim sebesar 52%. Dan terakhir, Investasi yang lebih masif dalam bidang bisnis dan lapangan kerja ramah lingkungan. Dengan melihat respon dari publik tersebut, hal ini menandakan bahwa terdapat keinginan dan kepedulian oleh masyarakat dalam krisis perubahan iklim global.

Berdasarkan persentase terbesar pada 4 kebijakan yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, kebijakan konservasi hutan dan lahan menjadi perhatian yang paling tinggi oleh responden, dikarenakan hutan menjadi salah satu sumber produksi oksigen dan penyerapan gas karbon dioksida yang berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, pohon juga dapat mengurangi suhu udara melalui proses evaporasi dari daun-daun mereka. Dewasa ini sering kita lihat, semakin marak terjadinya penebangan hutan secara ilegal atau penebangan liar, padahal pohonpohon tersebut sangat berarti bagi kehidupan manusia dalam mengurangi pemanasan global, karbon dioksida tergolong menjadi salah satu gas rumah kaca yang berperan dalam pemanasan global, dengan diserapnya karbon dioksida oleh pohon maka hal ini menjadi salah satu Solusi yang dapat digunakan oleh para responden yang memiliki perhatian yang serius terhadap konservasi dan perlindungan hutan.

Terdapat sebuah pola-pola yang menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh masing-masing negara ditentukan oleh kepentingan dan penyebab terbesar pemanasan global, sehingga diperlukan kebijakan tertentu untuk mengatasi penyebab atau sumber pemanasan global di suatu negara tersebut, seperti dukungan terhadap kebijakan mengenai energi terbarukan banyak dipilih oleh negara dengan emisi tinggi yang dihasilkan oleh sektor listrik sedangkan dukungan terhadap kebijakan mengenai Teknik pertanian ramah iklim banyak dipilih oleh negara dengan sektor pertanian terbesar.

Dalam survei ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang tergolong sektor pertanian terbesar, mayoritas responden mendukung kebijakan Teknik pertanian ramah iklim sebesar 60%. Dukungan tersebut menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap keseimbangan antara perubahan iklim dan sektor pertanian di Indonesia.

Teknik pertanian ramah iklim merupakan sebuah konsep pertanian dalam menyeimbangkan antara meningkatkan ketahanan pangan dengan mencegah dan meminimalisir dampak sektor pertanian terhadap perubahan iklim. Dampak dari sektor pertanian terhadap krisis iklim bersumber dari penggunaan pestisida yang tidak ramah lingkungan, pembukaan lahan secara masif namun tidak digunakan atau gagal dalam penggunaannya, sehingga lahan tersebut mubazir dan hanya menambah emisi gas rumah kaca dari hasil pembukaan lahan hutan dengan cara pembakaran hutan, dan penggunaan pupuk non organik turut menyumbang emisi gas rumah kaca. Untuk bertransformasi dari pertanian konvensional ke pertanian ramah iklim dapat dilakukan dengan meminimalisir pembukaan lahan atau membuka lahan secukupnya, mereboisasi dan merehabilitasi lahan yang tidak terpakai menjadi hutan kembali, sehingga diharapkan dapat meminimalisir sumber emisi gas rumah kaca.

Namun, di balik dukungan yang besar oleh masyarakat Indonesia. Terdapat program strategis nasional milik Pemerintah yang berkebalikan dari kebijakan Teknik pertanian ramah iklim yang justru merusak ekosistem alam dan memperparah krisis iklim, khususnya di Kalimantan Tengah, yang dikenal dengan Food Estate atau lumbung pangan.

Food Estate merupakan program strategis nasional yang muncul pada saat krisis covid dalam rangka mengatasi krisis pangan yang terjadi di Indonesia. Food Estate diharapkan dapat menjadi sebuah fasilitas ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan Indonesia bahkan diharapkan dapat menjadi salah satu komoditas ekspor Indonesia. Anggaran yang digelontorkan oleh negara untuk merealisasikan program ini mencapai angka triliunan rupiah. Bahkan, Food Estate mengambil alih lahan sebanyak ratusan hektar pada berbagai pulau di indonesia. Namun, dalam pengimplementasiannya, kebijakan food estate ini mengalami kegagalan dalam menggapai tujuannya.

Pengalihan fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan hilangnya pohon sebagai tameng yang melindungi kita dari pemanasan global. Selain itu, dengan berkurangnya pohon di wilayah yang menjadi basis untuk food estate. Resapan air di wilayah tersebut menjadi berkurang sehingga menyebabkan banjir. Di Kalimantan Tengah, lahan yang ditanami untuk komoditas singkong mengalami kegagalan dan hanya tumbuh sebesar ibu jari selama 1 tahun. Bahkan, di beberapa lahan lain mengalami kegagalan panen. Dengan kegagalan-kegagalan tersebut, petani yang menjadi korban ambisi Pemerintah mengalami kerugian besar. Kegagalan ini disebabkan karena Pemerintah terlalu berambisi dan memaksa dalam menjalankan program ini tanpa berunding dengan petani yang memiliki tanah mengenai program food estate serta tanpa melakukan konservasi terhadap lahan dan hutan terlebih dahulu sehingga melanggar kaidah pertanian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline