Betapa banyak dari komunitas kita bahkan mungkin diri kita sendiri mencari kebahagian yang abadi dalam sesuatu yang bersifat materi; yang bersifat temporal serta menempati ruang dan waktu, padahal salah satu ajaran inti dari Islam adalah terlepasnya diri kita dari hal-hal duniawi yaitu zuhud. Bukan berarti kita tidak peduli dengan kehidupan duniawi kita, karena bumi memiliki nama lain yaitu darrul 'amal atau tempatnya amal; dimana kita menanam bibit-bibit kebaikan yang kelak akan kita tuai bibit-bibit baik tersebut di hari kemudian (akhirat).
Sayangnya dari kita sebagai umat muslim banyak yang melupakan ajaran-ajaran yang vital khususnya di zaman sekarang, terutama gaya hedonistik dan materialistik yang dipengaruhi dunia barat menjadi salah satu akar permasalah ditengah-tengah masyarakat kita.
Secara sederhana kebahagiaan bisa diraih oleh hal-hal yang bersifat materi dan tentunya sesuatu yang materi bersifat temporal, mortal, atau akan expired. Anehnya banyak orang yang mengharapkan akan kebahagiaan yang bertahan lama bahkan abadi dengan mencari sesuatu yang bersifat sementara, ini sudah menjadi sesuatu yang kontradiktif.
Dengan itu maka dipastikan orang yang mencari kebahagiaan yang bertahan lama bahkan abadi dengan cara-cara seperti ini tidak akan mendapatkannya, namun dengan pengaruh gaya hidup dari barat seperti hedonistik dan materialistik orang telah terpengaruh dan mulai lupa akan ajaran zuhud dalam Islam. Sayyidina Husain putra dari Rasulullah memberi ajaran besar bagi umat kakek-nya dalam mendapatkan sebuah kebahagiaan yang bahkan tidak masuk akal dalam kaca mata pandang materialis.
Dalam tragedi pembataian Karbala dia terbunuh beserta keluarganya dan kebanyakan adalah keturunan Rasulullah, mereka kalah dalam pertempuran namun mereka telah memenangkan peperangan. Mereka membuktikan darah mengalahkan pedang, dan kebahagiaan didapatkan oleh pengorbanan.
Harapan dari Sayyidina Husain bukan hanya meraih kesyahidan dalam mencari kebahagiaan, namun agar hidupnya ajaran dari kakeknya agar manusia bisa mencapai kebahagiaan yang sejati. Inilah kebahagiaan yang dicapai oleh Sayyidina Husein, dan kebahagiaan beliau sudah melewati batas ruang dan waktu. Sayyidina Husain dalam doa arafahnya mengucapkan "Ya Allah bagaimana aku bisa merasakan kehilangan sesuatu ketika aku sudah memilikimu, dan bagaimana aku bisa memiliki sesuatu jika aku kehilangan Diri-Mu."
Sayyidina Husain seakan-akan berbicara bahwa dia rela kehilangan segala sesuatu selagi beliau tidak kehilangan Tuhannya, dan dia jikalaupun dia memiliki segala sesuatu kecuali Tuhan maka ini bukanlah sebuah kebahagiaan. Dalam setiap langkah di hidup kita kita harus berpikir apakah kebahagiaan ini terdapat Allah didalamnya, terdapat keridhoan-Nya didalamnya. Maka jika didapatkan ridho Allah di dalam kebahagiaan kita, sebuah niscaya kebahagiaan kita adalah kebahagiaan yang abadi. Al Baqarah:216 menyebutkan "Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." Ayat ini sangat amat relevan untuk kita para pencari kebahagiaan, seringkali kita mencari kebahagiaan dan gemar menyukai akan sesuatu yang sebenarnya tidak baik untuk diri kita dan kita mengharapkan kebahagiaan dari hal ini. Terkadangpun kita menyadari bahwa sesuatu yang kita senangi tidak baik untuk diri kita, tapi karena hawa nafsu dan tertutupnya akal kita menghiraukan hal ini.
Walaupun Sayyidina Husain kalah secara materi;terbunuh dirinya beserta keluarga dan sahabatnya, namun beliau meraih kemenangan secara substansi dan esensi. Beliau menang dan merdeka dalam menjalankan misinya untuk meneruskan dan meluruskan ajaran kakeknya Rasulullah. Sehingga kita bisa mengambil pelajaran dari tragedi pembantaian terhadap Sayyidina Husain dan memahami apa itu kebahagiaan secara hakiki. Kebahagiaan yang diperoleh dari sesuatu yang bersifat materi tentu akan expired dan kita tidak akan puas terhadapnya karena fitrah dari manusia adalah ketidakbatasan atau keabadian (karena manusia diciptakan untuk menjadi abadi). Dengan ini kita tidak akan berhenti mencari kebahagiaan dalam sesuatu yang bersifat materi, tidak akan pernah berhenti karena tidak akan didapatkan kebahagiaan semacam ini terhadap hal-hal yang bersifat temporal atau akan expired.
Dengan ini timbul juga sifat-sifat hedonistik yang merugikan kita sendiri, diakibatkan perasaan tidak puas dalam mencari kebahagiaan. Sudah terdefinisikan kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat materi dan tidak akan ada habisnya, contoh kita sudah mencapai keinginan satu keinginan kita sebut saja mobil. Maka akan terus bertambah ingin mobil yang lebih bagus dan lain sebagainya, dan akan membawa tidak hanya pada diri kita namun pandangan kita terhadap orang lain. Kita mulai memandang orang lain berdasarkan materinya, ntah jam yang mereka pakai, mobil yang mereka kendarai, pakaian yang mereka kenakan.
Ini adalah sebuah pemikiran yang rusak sebagai insan terutama sebagai umat muslim, berapa banyak kita di ajarkan Allah dalam memandang manusia melalui ketakwaannya dan keilmuannya serta akhlaknya, namun hal-hal seperti ini bahkan sudah maklum di tengah-tengah masyarakat muslim.
Secara tidak sadarpun sudah menjalar atau "deep rooted" di tengah-tengah kita, dan menjadi sebuah akar permasalahan yang besar serta menciptakan strata-strata sosial yang tidak diperlukan juga menciptakan banyak kebohongan di tengah masyarakat kita. Sehingga banyak yang berusaha keras untuk menonjolkan kualitas diri mereka melalui hal-hal seperti ini; pakaian, harta, dll. Padahal faktanya mereka mengalami kesulitan dalam ekonomi, namun karena pemikiran seperti ini sudah lumrah dan secara tidak sadar terciptalah juga kebohongan seperti ini mendahulukan atribut-atribut daripada esensi(akal, akhlak, kejujuran, dll). Pemahaman seperti ini yang seharusnya dipatahkan oleh Islam, bukan malah menjelma dan menjadi lumrah ditengah-tengah kalangan umat muslim.