Lihat ke Halaman Asli

Bingkai Kenestapaan

Diperbarui: 11 Maret 2023   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagian Pertama


Betapa ironinya kehidupan, di satu sisi aku melihat keamanan dan keegoisan menjalar di jiwa-jiwa yang mengira bahwa matahari dan bulan hanya bersinar di tamannya yang haram. Di sisi lain aku melihat pemuda dan pujangga menumpahkan darah sucinya diatas got-got suci dengan gratis demi membayar untuk udara yang segar bagi semesta alam. Jasad menjadi abadi ketika engkau buang emas palsu demi batu permata yang belum di pahat, dan jiwa menjadi busuk ketika engkau buta akan yang nyata seakan-akan semesta adalah dirimu.
Hewan-hewan mengira bahwa mereka berbeda, dan memilih untuk tidak menghiraukan satu sama lain. Pada akhirnya, semua menjadi individualis dan makhluk bengis yang tidak tau akan hakikat dari indahnya alam semesta. Beruntung bagi hewan-hewan yang bengis masih ada jiwa-jiwa yang sadar bahwa semesta adalah satu dengannya. Keseimbangan dan keindahan alam dibayar dengan air mata dan nestapa yang menjadi murah untuk keseimbangan dari bintang-bintang yang terpampang dan terpentaskan sedari Adam hingga manusia terakhir.

Aku merindu akan langit dan bumi yang menyatu, senada berjalan dengan irama yang membentuk kasih dan harmoni. Lalu langit bertanya apa bedanya manusia dengan babi yang hanya memiliki nafsu yang menulis tanpa psikis. Bak serigala-serigala bengis yang mengaku sebagai penghuni surga, namun memenggal kekasih Sang Khaliq diatas bumi Thus. Lupa bahwa pintu-pintu itu biasa diketuk oleh cahaya-cahaya langit seraya mengucapkan salam dengan penuh cinta kasih, lalu dengan bangga membakar pintu-pintu dan mendobrak dengan alasan ingin menegakan keadilan. Keadilan yang ditegakkan macam apa, mengadili orang lain sedangkan menjadi serigala bengis yang memakan domba-domba yang tak bersalah. Mengadili wakil Yang Maha Adil? kebodohan telah memenuhi jiwa dan kepala dari serigala bengis-bengis ini.

Kejahatan dan kebengisan tidak menempati ruang dan waktu, tidak memiliki suku maupun agama. Tidak mengenal siapa dan apa juga kepada siapa dia akan menjelma, bak hewan buas yang tidak memiliki neraca untuk melihat keseimbangan alam dalam amalan yang akan dia lakukan. Kepalsuan dan kemunafikan akan senantiasa menjadi seperti dirinya, akan berubah lahiriyyah namun tidak esensinya, seiring musim berganti dan hewan-hewan pada mati. Kepalsuan hanya mempoles wujudnya seakan-akan menjadi sebuah wujud murni yang akan memberikan kebahagiaan yang hakiki. Lalu ku berdiam diantara suku, budaya, ras, dan agama mempertanyakan akan keindahan dan estetika yang semula Sang Hidup ciptakan dalam nurani jiwa-jiwa yang nestapa. Apakah para hewan-hewan yang fana dan nestapa sudah lupa bahwa mereka diadakan dari kasih sayang oleh Sang Kekasih? Derita membawa jiwa kepada Sang Ada, air mata mengahntarkan cawan kerinduan dengan cepat kepada Sang Ahad. Sedangkan kebahagiaan yang menipu, membuat yang eksis terjatuh dalam lubang kepalsuan nan gelap.

Telahku berkelana dari barat hingga timur,  layaknya menanamkan bunga teratai di angkasa langit untuk menemukan insan yang mengerti jiwanya dan tujuan dari penciptaannya. Dalam kacamata para penumpah darah suci, kemenangan adalah luka dan terpotongnya kepala serta terbangnya jiwa dengan cuma-cuma untuk meraih keabadian. Namun bagi yang mengira bahwa hujan hanya turun dikebunnya dan bunga hanya bersemi di taman-tamannya, dia rela mencabut penopang kehidupan orang lain demi meraih kebahagiaan yang palsu. Rela membunuh tabib-tabib yang akan mengobati orang yang sakit dengan bengis dan tiada belas kasihan.

Bulan, matahari, bintang, diriku adalah sebuah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan layak Mukhtar dan Murtadho. Jikalau bisa dipisahkan, hanya wujud yang fana bisa dipisahkan dariku dengannya dan tiada yang bisa memisahkan sebuah entitas yang satu yang hanya dipisahkan diantara kedua jasad-jasad yang menipu. Bila ranting patah di salah satu pohon yang berada di taman kasih, maka semua pohon akan menangis dan merasa sakit. Apabila dicabut satu akar dari pohon yang ada di taman, maka niscaya seluruh pohon akan mati dan taman-taman hanya menjadi sebuah kata dan tanah yang tidak memiliki arti serta menjadi hina.

Lalu ada satu debu insignifikan di antara semesta dan cahaya yang besar, dia merasa menjadi sumber dari sebuah tata surya sehingga berhak menghilangkan hal lain yang ada di tata surya. Laksana raja yang diktator debu ini memiliki rasa kuasa atas enitas lainnya, menindas, menyombongkan diri atas apa? kekotoran yang dia miliki secara tidak sadar. Memakan masa dan rasa hanya untuk mencabut daging-daging dari pada saudaranya, seraya mendengak ke langit dan menebarkan benih-benih penyakit kepada taman-taman Tuhan. Menebar pestisida di atas kulit luka agar dia tidak terinfeksi dari sari oleh bunga bunga melati.

Kebebasan adalah kebebasan sekalipun dikurung dalam tanah ketujuh dengan rantai dan bangkai yang semerbak, dan perbudakan adalah perbudakan walaupun dibungkus dengan kain sutra dan dengan telanjang dada diatas bumi yang merdeka. Merasa bebas dalam mimpi seakan-akan memiliki nilai, merasa bebas oleh sesuatu yang dibentuk dari hawa nafsu. Sedangkan para "tawanan" terbang kelangit ketujuh dengan bekal rantai di leher dan tali di tangan, serta darah di sekujur raga yang fana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline