Lihat ke Halaman Asli

Cara Berhukum Aparat dan Beban Ganda Masyarakat

Diperbarui: 2 Agustus 2021   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keberingasan aparat lagi-lagi dipertontonkan secara gamblang di ruang publik. Di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat belum lama ini, beragam pemberitaan yang muncul ke permukaan sangat memuakkan. Bagaimana tidak, kabar yang muncul tak hanya mengenai kenaikan angka Covid-19, tapi juga kabar petugas penertiban yang makin arogan.

Persoalan ini tentu bukan hal yang baru di Indonesia. Namun, dalam kondisi serba sulit di masa pagebluk ini, arogansi aparat semakin terlihat dan tentu saja menambah beban semakin berat. Berbekal dasar hukum PPKM yang masih ambigu dan labil, aparat menggunakan kekuatan berlebihan untuk "menggebuk" siapa saja yang disangka melanggar aturan.

Sederet contoh dapat disebutkan. Di Semarang misalnya, para pedagang disiram dengan mobil pemadam kebakaran. Dalam video yang beredar, barang-barang pedagang pun diangkut, kursi di depan konter HP salah satunya. Langkah petugas yang demikian itu lucu. Mengingat sampai hari ini, saya belum pernah melihat orang beli kuota internet lalu dihabiskan di tempat.

Sementara itu di Gowa, seorang petugas tampak menampar seorang perempuan hamil yang merupakan pemilik sebuah kafe. Sangkaannya sama, melanggar PPKM karena tidak menutup warungnya sesuai jam yang diberlakukan. Sungguh, tindakan brutal yang diinstitusionalisasikan.

Dua kejadian itu dilakukan oleh aparat dari institusi yang sama: Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Jauh panggang dari api, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat yang dicita-citakan melalui pembentukan Satpol PP pun semakin jauh untuk dicapai. Pada titik ini kita bisa mengatakan bahwa aparat menciptakan keteraturan, tapi justru hasilnya ketidakteraturan.

Bukan bermaksud menggeneralisasi, tapi begitulah kondisi di lapangan hari ini. Belum lagi arogansi yang dilakukan oleh Polisi maupun TNI, barangkali.

Dua Pilihan

"PPKM itu bukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, tapi Pelan-Pelan Kita Mati," begitulah candaan serius yang berlaku di masyarakat akar rumput. Bukan tanpa sebab, ambiguitas kebijakan Pemerintah sejak awal pandemi telah menegasikan hak-hak dasar warga negara.

Ketidakmampuan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok, menjadikan masyarakat harus tetap bekerja, meski rasa takut mengiringinya. Andaikan hidup dan kehidupan masyarakat dijamin, dikurung di rumah dua minggu pun pasti bisa.

Maka jangan heran jika sampai saat ini, anjuran #DiRumahAja masih susah untuk dijalankan masyarakat, utamanya yang tak punya penghasilan tetap bulanan. Beda cerita bagi mereka yang bisa 'menikmati' masa karantina dengan duduk manis di depan layar kaca, sembari memperhatikan jalannya Ikatan Cinta.

Artinya memang kebutuhanlah yang mendesak masyarakat untuk tetap kerja. Protokol kesehatan tentu dijalankan sebisanya. Barangkali hanya itu yang bisa diupayakan. Sebab untuk membeli suplemen vitamin sangat jauh jangkauannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline