"Bagi saya memfotokopi KTP adalah sebuah keharusan..."
Yah itulah yang selalu ada di benak saya sampai sekarang. Semenjak memiliki KTP saya selalu berfikiran bahwa memfotokopi KTP merupakan keharusan karena berbagai macam kepengurusan studi lanjut ataupun berkas kependudukan lain pasti memerlukan duplikat KTP hitam-putih sebagai prasyarat.
Hingga sekarang menduplikat hitam-putih KTP merupakan keharusan tiap kali mampir ke toko ATK dan penyedia jasa fotokopi. Yahh minimal 10 lembar yang akan saya duplikasi.
Satu waktu ada seorang influencer yang mengatakan sebuah statement candaan yang menarik.
"Selama kita ke kelurahan masih harus fotokopi KTP kita ini masih primitif!"
Pernyataan tersebut sangat menarik perhatian saya. Sebagai seorang siswa SMK jurusan Teknik Komputer Jaringan tentu itu sangat menggelitik. Bagaimana mungkin saya "Digocek" oleh fakta sosial bahwa kartu tanda penduduk yang sudah elektronik masih perlu difotokopi - padahal sudah "elektronik" - Lalu apa gunanya term elektronik pada Kartu Tanda Penduduk?
Meskipun KTP sekarang sudah bertransformasi lebih baik seperti tidak perlu lagi diperpanjang karena masa aktif selamanya, berbagai macam keperluan kependudukan sudah dapat dilakukan secara digital dan otomatisasi menjadi prinsip utama. Jika memang demikian seharusnya fotokopi KTP seharusnya dapat ditinggalkan karena rawan kebocoran data pribadi.
Dilema Fotokopi E-KTP
Layaknya post power syndrome, otoritas fotokopi KTP lawas nampaknya masih dibutuhkan untuk melakukan digitalisasi itu sendiri. Seharusnya dengan mengetik NIK masyarakat berbagai data pribadi yang dibutuhkan oleh pemerintah dapat diakses dengan mudah karena tidak mungkin NIK setiap orang sama.
Sehingga NIK tersebut menjadi pokok utama ketika mengurus berbagai macam keperluan seperti mengurus SIM, SKCK, BPJS, dan lain sebagainya.