Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Faizal

Orang Nomaden

Toxic Positivity: "Sudahlah Kawan, Dunia juga Milikmu!"

Diperbarui: 28 Juli 2021   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1. Illustrasi Toxic Positivity || Sumber: www.pngitem.com/middle/ihRoTih_smile-mask-photo-hiding-crying-sad-sadness-anime/

"Sudahlah Kawan, Dunia juga Milikmu!"

Tersenyum di tengah keramaian. Bahagia ketika bersama teman. Mencoba menghibur padahal sedang hancur. Kesepian menjadi tempat bagi mereka yang berusaha terlihat baik-baik saja pada lingkaran nya. Padahal kehancuran dirinya tinggal menunggu waktu. Jujur saja melihat kita yang seperti itu sebenarnya tidak akan membawa apa-apa melainkan kepuasan diri. Kita ini zoon politicon, kita ini makhluk sosial. Tidak perlu selalu baik pada orang lain dan jangan muna tidak memerlukan orang lain!

Teman-teman mungkin membaca paragraf diatas dengan nada tinggi. Yahh bagaimana menjelaskan nya, ada saat dimana diri kita terkekang oleh keadaan yang harus membuat kita selalu terlihat sempurna di mata orang lain. Entah karena ingin membantu agar terlihat kuat, atau memang pandangan sekitar kita yang membentuk diri kita sebagai orang yang kuat. Jika sampai demikian maka peluang untuk menjadi diri kita sendiri akan semakin mengecil. Fenomena tersebut disebut toxic positivity. Ironi..

Capek ya?

Bagi saya ini ironi. Karena kita menjadi tidak bisa menjadi diri kita yang sesungguhnya. Bukankah terlihat menyedihkan disaat kita sebenarnya ingin sekali ditanya "Bagaimana kabarmu hari ini?" oleh teman atau saudara kita malah keadaan berbalik kita yang menanyakan pertanyaan tersebut. Pun disaat kita sebenarnya ingin sekali ditolong malah karena kita 'peka' atau memang kondisi lingkungan kita yang membuat kita harus membantu seseorang. Sebenarnya tidak masalah kita membantu atau menolong seseorang padahal kondisi kita sedang tidak baik. Namun akan jadi masalah kalau toxic positivity dipandang sebagai sebuah keharusan yang harus selalu di manifestasikan 'setiap hari'. Emang ngga capek Broo??

Pada beberapa artikel yang saya baca, toxic positivity pun menyimpan segudang dampak negatif. Salah satu dampak negatif dari toxic positivity apabila sudah menjadi kebiasaan adalah perilaku mengucilkan diri sendiri hingga kemudian berakhir pada ketidaknyamanan, dan sikap tertutup, serta tidak bisa jujur pada diri sendiri.

Tidak masalah jika kita ingin menghilang satu jam, satu hari, satu minggu, atau satu bulan sekalipun untuk recovery. Jangan menganggap bahwa kita hidup adalah untuk menyenangkan orang lain - dunia juga milik diri kita sendiri - ada hak dimana kita bisa senang untuk diri kita sendiri dan tersenyum untuk kita sendiri. Ada masanya dimana kita perlu mempertimbangkan bahwa diri kita perlu untuk berkontemplasi untuk menenangkan diri.

Kontemplasi, Langkah untuk Me-Regain Diri yang Mulai Rapuh

Saya sebenarnya menulis ini karena keresahan dan terdapat pengalaman yang ingin saya bagikan. Kasus ini mirip seperti people pleaser (Sikap yang menuntut diri harus memenuhi ekspetasi orang lain) dan tentang bagaimana saya menanggulangi hal tersebut adalah apa yang menjadikan saya seperti sekarang. Menghilang satu hari, satu minggu, atau bahkan satu bulan bagi saya adalah hal yang wajar karena tenggang waktu recovery seseorang berbeda-beda dan kita tidak bisa menuntut seseorang untuk sembuh disaat yang kita tentukan. Menghilang disini bisa kita maksimalkan untuk berlibur, melakukan hobby yang belum kita lakukan lagi sebelumnya, atau bahkan sekedar duduk di kursi menikmati senja dan meminum kopi untuk melupakan masalah sejenak. Semua dapat dilakukan. 

Namun ada saat dimana saya sendirian dan menangis. Bagi saya yang seorang laki-laki menangis itu tidak mengapa - no offense  untuk teman-teman yang memandang bahwa menangis adalah tanda kelemahan - karena menurut saya menangis dapat menjadi salah satu jalan untuk berdamai dengan diri sendiri. Ketika begitu banyak rasa sakit yang telah kita terima, ketika begitu banyak masalah yang telah kita tumpu, ketika begitu banyak kata-kata yang merusak mental kita. Kontemplasi mungkin bisa menjadi salah satu cara untuk menenangkan diri. Dan jangan lupa untuk selalu bersandar pada Tuhan Yang Maha Esa pun juga sebagai pengingat bahwa kita tidak benar-benar sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline