Eskalasi kasus stunting sebagai dampak kurang gizi pada baduta (bawah dua tahun) di Indonesia melampaui batas yang ditetapkan WHO. Kasus stunting banyak ditemukan di daerah dengan kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah. Kenapa demikian? Pada beberapa studi tentang pola kasus stunting pada dasarnya tidak dimonopoli oleh keluarga yang berstatus Pra Sejahtera dan Pendidikan rendah. di beberapa wilayah perkotaan yang menjadi sampel survey peningkatan kasus stunting juga ditemukan peningkatan yang cukup besar kisaran 5-12% dari angka sasaran Baduta yang datang ke posyandu. Indikator yang ditemui pada saat survey tersebut adalah yaitu tentang minimnya pengetahuan orang tua terhadap pola asuh baduta yang baik dan benar. Padahal, mereka dari kalangan orang yang perekonomian yang dalam katagori sejahtera. Namun meskipun demikian penemuan kasus tersebut ada, tidak secepat kasus yang dilatar belakangi oleh pendidikan dan perekonomian.
Indonesia merupakan negara yang digadang-gadang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dalam beberapa dekade mendatang. Price water house Coopers (PWC), misalnya, memprediksi ekonomi Indonesia masuk dalam lima besar dunia pada 2030, bahkan menjadi ke-4 negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2050 nanti. Jika itu terjadi, posisi Indonesia hanya akan ada di bawah Tiongkok, India dan Amerika Serikat. Prediksi tersebut didasarkan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianggap stabil, dan populasi yang besar. Dari komposisi usia penduduk, pada 2030, 70 persen penduduk Indonesia berusia 15-64 tahun, atau berada dalam masa produktif. Komposisi ini disebut sebagai bonus demografi. Kelompok usia produktif inilah, yang jumlahnya diperkirakan 180 juta jiwa, yang akan menjadi motor penggerak perekonomian nasional.
Harapan semua yang akan terjadi menjadi berkah, bonus demografi terancam menjadi malapetaka karena tingginya persentase baduta (bawah dua tahun) penderita stunting di Indonesia. Padahal, baduta (bawah dua tahun) saat inilah yang kelak menjadi tenaga produktif tersebut. Stunting adalah kondisi ketika baduta (bawah dua tahun) memiliki tinggi badan dibawah rata-rata. Hal ini diakibatkan asupan gizi yang diberikan, dalam waktu yang panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan. Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
Melihat perkembangan, angka stunting Indonesia menurun, dari 29 persen pada 2015 menjadi 27.6 persen tahun lalu. Adapun pada 2013, angka stunting nasional mencapai 37,2 persen. Namun, angka tersebut masih di atas batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20 persen. Persentase stunting Indonesia juga lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam (23), Filipina (20), Malaysia (17), dan Thailand (16). Berdasarkan titik sebaran, hampir seluruh provinsi, kecuali Sumatra Selatan dan Bali, memiliki persentase stunting di atas batas WHO. Adapun provinsi dengan stunting tertinggi adalah Sulawesi Barat (39,7) dan Nusa Tenggara Timur (38,7).
Dari peta tersebut, 14 provinsi memiliki tingkat stunting diatas nasional (27,6 persen). Daerah dengan stunting tertinggi berada di kawasan tengah dan timur Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Hampir semua provinsi di pulau tersebut memiliki tingkat stunting di atas rata-rata nasional. Hanya Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara yang memiliki tingkat stunting di bawah rata-rata nasional.
Stunting dan permasalahan kekurangan gizi lain yang terjadi pada baduta (bawah dua tahun) erat kaitannya dengan kemiskinan. Stunting umumnya terjadi akibat baduta (bawah dua tahun) kekurangan asupan penting seperti protein hewani dan nabati dan juga zat besi. Pada daerah-daerah dengan kemiskinan tinggi, seringkali ditemukan baduta (bawah dua tahun) kekurangan gizi akibat ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan primer rumah tangga. lihat bagan berikut;
Grafik di atas dapat menunjukkan, daerah dengan angka stunting tinggi juga memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi atau di atas rata-rata nasional (10.64 persen). Dari 14 daerah tersebut, hanya 5 daerah yang memiliki kemiskinan di bawah nasional. Daerah tersebut adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan. Selebihnya, 9 provinsi, memiliki tingkat kemiskinan tinggi.
Selain kemiskinan, tingkat pendidikan juga berkaitan dengan permasalahan gizi. Minimnya pengetahuan membuat pemberian asupan gizi tidak sesuai kebutuhan. Contohnya adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya inisiasi menyusui dini (IMD). Padahal IMD menjadi langkah penting dalam memberikan gizi terbaik.
Melihat data di atas, rata-rata nasional untuk lulusan SMA dan universitas adalah 41,17%. Hanya lima daerah yang memiliki lulusan SMA dan Universitas melampaui rata-rata nasional yaitu Sulawesi Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Dengan demikian, pada daerah stunting tinggi, masih banyak masyarakat berpendidikan di bawah SMA. Meskipun, pendidikan tinggi tak selalu menjamin kesadaran gizi yang tinggi pula.
Analisa saya secara pribadi melihat bahwa sekalipun faktor dominan penyebab stunting meningkat di beberapa wilayah yang sudah disebutkan dalam data sebelumnya adalah kemiskinan dan pendidikan rendah, sebagai seorang akademisi dan praktisi kebijakan penurunan stunting di wilayah Kalimantan Selatan Kabupaten Banjar, melihat dengan tafsiran bahwa kata kemiskinan dan pendidikan itu dapat dipahami dari perluasan makna. Miskin di sini memiliki pemahaman erat kaitannya dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan dapat dipahami bukan merupakan stratifikasinya, melainkan kesadaran dan pengetahuan terhadap pola asuh baduta yang baik dan benar. Jadi, pemahaman Kemiskinan dan Rendahnya Pendidikan itu dapat kita pahami bersama sebagai bentuk generalisir bahwa stunting itu masalah bersama yang butuh perhatian khusus tidak hanya dari keluarga miskin perekonomian dan pendidikannya yang rendah. Tapi, stunting bisa berdampak kepada keluarga yang perekonomiannya baik dan pendidikannya bagus. Karena yang dapat kita pahami dalam artikel ini adalah bagaimana kita mengelola pola asuh terhadap anak baduta kita sesuai dengan standar pengasuhan yang tepat. Sehingga, dari masa 1000 hari pertama kehidupan mereka, hak-haknya sudah dijamin oleh keluarga dan orang tuanya untuk tumbuh dan berkembang secara berkualitas.
Untuk itulah BKKBN beserta lintas sektor lainnya, baik dari lini spesifik maupun sensitif bersama-sama melakukan upaya pencegahan stunting dari hulu hingga saat proses kehamilan sampai dengan pertumbuhan usia baduta 23 bulan, melalui Pendampingan TPK kepada sasaran CATIN, PUS, BUMIL, BUFAS, BADUTA, Pembinaan Poktan BKB dan BKR, Penggerakan Kampung KB, Peluncuran Program Dashat (Dapur Sehat Atasi Stunting), Pelayanan KB momentum dll. Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan yang tercantum dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Ini sejalan dengan The Copenhagen Consensus 2012 yang mendorong investasi untuk perbaikan gizi. Perbaikan gizi diyakini membantu memutus lingkaran kemisikan dan meningkatkan PDB negara 2-3 persen per tahun.