Rohim merupakan mahasiswa yang kini menempuh kuliah di UI. Ia sangat cerdas, kritis serta aktif berorganisasi. Selama 4 semester di UI, ia berhasil meraih IP yang sangat baik, tidak pernah IPnya dibawah 3,3. Ia juga sangat gemilang dalam menganalisis sebuah permasalahan, pun berdebat mengenai sebuah permasalahan. Ia juga seorang yang cakap dalam berorganisasi. Tak ayal, ia dijuluku teman-temannya sebagai si Pintar nan Seimbang. Karena, meskipun ia sibuk dengan kegiatan organisasi, ia tidak pernah lupa akan akademisnya. Ia adalah seorang pekerja keras. Impian terbesarnya adalah mampu menyelesaikan kuliah sampai S3 dan menjadi seorang ekonom yang hebat.
Selama 4 semester di UI, pola pikirnyapun bertransisi. Dulu ia masuk FE, hanya karena ingin menjadi seorang Manajer. Dengan kedua orang tua yang berlatar belakang seorang manajer, tekadnya pun semakin bulat. Manajer baginya, adalah sebuah pekerjaan prestigious, pekerjaan high-level, dan mendapatkan gaji besar. Sejak awal semester I ia sudah merancang studinya di konsentrasi Keuangan. Ia pun menjalani tekadnya dengan bulat dan dengan determinasi tinggi.
Namun, semua berubah sampai semester 3. Hiru pikuk aktivis kampus, mengubah pola pikirnya perlahan-lahan. Indoktrin yang ia terima di kampus, sungguh sangat menggugahnya. Indoktrin mengenai slogan-slogan pro rakyat kecil membuatnya merasa nista. “Saat aku seorang manajer, aku hanya bisa menyaksikan derita rakyat kecil. Lalu, apa gunanya aku menjadi orang pintar? Kalau misalnya tidak bisa memberi perubahan kepada masyaraka?”. Rohim-pun dikondisikan seperti itu. Adalah pragmatism sikap generasi muda saat ini yang dinilai tidak peka terhadap masalah sosio-ekonomi menambah catatan panjang betapa buruknya kepedulian generasi muda saat ini. Paling tidak, itulah yang ia pikirkan.
Rohim-pun berubah sejak itu, terhitung semester 3. Ia tidak hanya membaca buku-buku kuliah, namun mengembangkan pengetahuaannya, dari berbagai disiplin ilmu, filsafat, politik, sosial, dan ilmu ekonomi pembangunan. Organisasi merupakan katalisatornya. Di organisasi ia banyak bertemu dengan mahasiswa ilmu sosial dan politik, ilmu budaya, yang mengasupinya dengan berbagai cerita seputar hiruk pikuk permasalahan yang ada di negara, khususnya pemerintahan. Ia semakin yakin, akan jalan kedepannya, bahwa ia harus menjadi pembela rakyat kecil.
Namun, Rohim mempunyai cara yang unik dalam menyikapi-nya. Ia tidak memilih berdemo-karena baginya demo saat ini sudah menjadi aksi unjuk gigi, dan memperlihatkan eksistensi mahasiswa semata, pun ia tidak memilih jalan melalui politik kampus, yang didominasi oleh singa-singa tua kampus, yang sangat egois dan sangat dominan. Ia pun memilih jalannya, sebagai seorang akademsi. Ia percaya bahwa untuk merubah sebuah sistem, jangan berada diluar, beradalah didalam, dan buatlah perubahan. Ia percaya bahwa hanya dengan ilmu yang kongkret-lah permasalahan bisa diselesaikan, tidak melalui gerakan-gerakan bawah yang hanya bisa mengkritik, dan nihil solusi.
Ia pun melihat gejolak intelektual, yang semakin keruh. Hanya ada sedikit peneliti, hanya ada sedikit akademisi unggul, hanya ada sedikit praktisi yang ahli, hanya ada sedikit intelektual yang benar-benar dikatakan intelektual. Ia percaya bahwa, hanya dengan bersorak perubahan tidak akan terjadi. Kau harus masuk kedalam, sorakan, ubahlah dari dalam. Sebuah mimpi-mimpin indah, untuk ia jaga kedepannya.
(Ini merupakan cerita fiktif, begitu pula namanya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H