Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Dzikriyyan

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Interelasi Hakim terhadap Degradasi Supremasi Hukum di Indonesia

Diperbarui: 17 April 2023   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KUHP dan KUHAP sebagai pedoman pemidanaan (sumber: dokumentasi penulis)

Supremasi hukum merupakan upaya menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi. Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun, termasuk oleh penyelenggara negara. Oleh karena itu, supremasi hukum tidak sekedar ditandai tersedianya aturan hukum yang ditetapkan, melainkan harus diiringi kemampuan menegakkan kaidah hukum (sumber. mkri.id). Untuk menghadirkan keamanan, kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat, maka hukum ini harus ditegakan dalam kondisi apapun (fiat justitia ruat caelum). Negara sebagai entitas kekuasaan wajib memberikan perlindungan dan jaminan atas berjalan baiknya kehidupan masyarakat. Indonesia menganut TRIAS POLITICA, membagi kekuasaan menjadi tiga bagian. Ada kekuasaan khusus yang fungsinya sebagai penegak hukum yaitu Yudikatif. Yudikatif terdiri dari tiga lembaga kehakiman yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

Apakah dengan adanya lembaga tersebut penegakan hukum sudah efektif di Indonesia? Hal ini menjadi persoalan penting bagi pemerintah, sebab ini menyangkut soal kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan rakyat kepada pemerintah, apabila kepercayaan rakyat terus mengalami degradasi maka besar kemungkinan disintergrasi akan terjadi. Mardjono Reksodiputro, berpendapat bahwa rasa hormat masyarakat terhadap sistem peradilan (Hukum) sangat bergantung pada sistem pelayanannya. Tentu halini menjadi sesuatu yang serius untuk ditangani.

Melihat realita yang terjadi, hukum di Indonesia sering kali ternodai oleh tindakan hakim yang bertentangan dengan moralitas dan peraturan yang berlaku. Di Pengadilan Negeri Semarang, terdapat hakim tersandung kasus suap. Ia menerima suap dari bupati Marzuki. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 12 Huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disusul ditahun 2022, dua hakim agung menjadi tersangka kasus dugaan korupsi sebesar Rp. 3,7 Miliar. Kasus-kasus diatas tentunya membuat rasa kepercayaan masyarakat terhadap hakim semakin menurun.

Kewajiban hakim yang tertuang dalam pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan". Bahkan bagi seorang hakim agung, Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Hal tersebut menjadi landasan konkret hakim untuk menggerakan roda supremasi hukum di Indonesia. Roda yang sehat akan menciptakan legal culture yang ideal, sehingga Indonesia sebagai negara hukum mampu termanifestasikan dengan baik.

Dalam sistem peradilan pidana terpadu, hakim terletak sebelum lembaga pemasyarakatan dan setelah kejaksaan. Pada posisi ini hakim memiliki kewenangan untuk memvonis seseorang bersalah atau tidak. Secara implisit keadilan sedang berada di tangannya, sehingga sangat krusial putusan hakim terhadap perwujudan keadilan di masyarakat. Letaknya yang strategis memosisikan hakim pada garis singgung berbagai kepentingan. Situasi ini memungkinkan terjadinya banyak intervensi dari pihak yang berpekara. Profesionalisme hakim untuk melaksanakan kekuasaan hakim yang merdeka menjadi salah satu senjata untuk tetap berada pada koridor penegakan hukum yang sehat. Namun seperti pisau bermata dua, kemerdekaan ini tidak luput disalahgunakan oleh oknum hakim untuk meringankan atau bahkan membebaskan terdakwa. Pada kondisi-kondisi tertentu masih terdapat oknum hakim yang bersikap immoral.

Pada tahun 2021, Komisi Yudisial (KY) menerima aduan pelanggaran kode etik kehakiman yang diduga dilakukan oleh sedikitnya 150 hakim di Jawa Timur, atau tepat di bawah DKI Jakarta sebagai peringkat pertama. Kemudian, sejak 2012 terdapat 20 hakim yang tersangkut kasus korupsi. Berdasarkan hasil survei SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) pada Agustus 2021 tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan adalah 61%. Hal ini menunjukan bahwa kepercayaan masyarakat masih rendah terhadap supremasi hukum di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline