Lihat ke Halaman Asli

Penetapan Hak Asuk Anak Belum Mumayyiz kepada Ayah Pascaperceraian di pengadilan Agama Klaten

Diperbarui: 3 Juni 2024   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENETAPAN HAK ASUH ANAK BELUM MUMAYYIZ KEPADA AYAH PASCAPERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KLATEN
(Studi Putusan No.1077/Pdt.G/2021/PA.Klt)
 
A. PENDAHULUAN
Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 ialah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa atau dalam bahasa KHI disebut dengan mistaqan ghaliza (ikatan yang kuat). Namun, dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syaratsyarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Perceraian dalam Islam bukan sebuah larangan, tetapi mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Secara yuridis perceraian telah diatur dalam pasal 38 huruf b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalamnya dijelaskan bahwa putusnya suatu perkawinan dapat terjadi karena adanya kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Dalam undang-undang tersebut terlihat jelas bahwa putusnya perkawinan karena perceraian adalah berbeda halnya dengan putusnya perkawinan. Sedangkan pasal 39 Undang-undang perkawinan dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidan Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal ini dimaksudkan untuk mengatur tentang perkara talak pada perkawinan menurut Agama Islam. Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 hal ini dimaksudkan agar dapat membedakan pengertian cerai talak dan cerai gugat.
Perceraian mempunyai akibat terhadap anak yang masih di bawah umur, yakni mengenai hak asuh anak. Kekuasaan orang tua terhadap anak dapat berubah menjadi perwalian atau pengalihan kuasa asuh agar kepentingan dan kebutuhan anak dapat terpenuhi, karena itu jika perkawinan diputuskan oleh hakim maka harus diatur pula tentang perwalian terhadap anak yang masih di bawah umur. Hal ini tentu dengan tidak mengurangi posisi pihak lain yang tidak menjadi wali atau pemegang asuh untuk memelihara dan mendidik anak tersebut.
Seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Klaten yang merupakan lembaga peradilan yang menangani masalah hukum keluarga, termasuk perkara cerai bagi rakyat pencari keadilan khususnya yang beragama Islam. Penggugat (ibu) dan Tergugat (ayah) awalnya adalah suami istri yang sah, akan tetapi berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Klaten Registrasi Perkara Nomor 1077/Pdt.G/2021/PA.Klt tanggal 07 Juli 2021 tentang Perceraian antara Penggugat dan Tergugat, oleh karenanya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dari hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai tiga orang anak laki-laki yang belum mumayyiz (masih dibawah umur), yang mana anak pertama berusia 8 (delapan) tahun, anak yang kedua berusia 6 (enam) tahun, dan anak ketiga 3 (tiga) tahun. Dalam petitum gugatan penggugat memohon kepada majelis hakim agar anak tersebut diberikan kepadanya. Setelah gugatan Penggugat tersebut, selanjutnya tergugat menyampaikan jawaban pada tanggal 06 september 2021. Dalam petitum gugatan tergugat memohon kepada majelis hakim agar anak tersebut diberikan kepadanya. Berdasarkan jawab-menjawab dalam proses persidangan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka hakim dalam point 3 diktum amar putusannya menyatakan bahwa menetapkan tiga orang anak. Anak kandung pertama umur 8 tahun, Anak kandung kedua umur 6 tahun yang belum mumayyiz berada dibawah asuhan Tergugat selaku ayah kandungnya sedangkan Anak kandung ketiga umur 3 tahun berada dalam hadanah Penggugat selaku ibu kandungnya dan menghukum masing-masing pemegang hak asuh anak berkewajiban tetap memberi akses kepada pemegang hak asuh lainnya (ayah kandung atau ibu kandung ketiga anak) untuk bertemu, mengajak bermain dan jalan serta mencurahkan kasih sayangnya dengan waktu yang disepakati kedua belah pihak.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau masih dibawah umur 12 tahun adalah hak penuh ibunya. Namun, Majelis Hakim menerapkan asas hukum kontra legem yaitu mengubah Pasal 105 huruf (a) KHI dari peraturan khusus (lex specialis) menjadi lex generalis (peraturan umum) dimana berdasarkan Putusan No.1077/Pdt.G/2021/PA.Klt Tentang Hak Asuh Anak Pasca Perceraian yang diperoleh dari Pengadilan Agama Klaten menyatakan bahwa, Point ketiga putusan tersebut menyatakan bahwa menetapkan tiga orang anak. Anak kandung pertama umur 8 tahun, Anak kandung kedua 6 tahun yang belum mumayyiz berada dibawah asuhan Tergugat selaku ayah kandungnya sedangkan Anak kandung ketiga umur 3 tahun berada dalam hadanah Penggugat selaku ibu kandungnya.
B. Alasan Mengapa Memilih Judul Skripsi yang Saya Pilih
1. Karena dapat dapat memberikan masukan perbaikan terhadap metodologi, analisis, maupun pembahasan yang ada dalam skripsi.
2. Dapat Memperkaya kajian dan referensi terkait penetapan hak asuh anak belum mumayyiz kepada ayah pascaperceraian. Dan juga reviewer dapat memberikan perspektif dan analisis tambahan untuk memperkuat kajian dalam skripsi ini.
3. Karena dapat mendukung pengembangan keilmuan di bidang Hukum Keluarga Islam, khususnya mengenai persoalan hak asuh anak pascaperceraian. dan hasil review dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian hukum keluarga.
4. Untuk menganalisis penetapan hak asuh anak belum mumayyiz kepada ayah pascaperceraian di Pengadilan Agama Klaten, dengan studi pada Putusan No.1077/Pdt.G/2021/PA.Klt.
C. Pembahasan
BAB 1 : Hak Asuh Pascaperceraian Dan Pertimbangan Hukum
a. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak terdapat definisi yang tegas mengenai perceraian secara khusus. Menurut Pasal 38 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditegaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian atau perceraian atas putusan hakim, Selanjutnya dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 disebut dan j juga diatur dalam Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa perceraian dapat dilakukan didepan sidang peradilan setelah peradilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
 
b. Pengertian dan Dasar Hukum Hadanah
Dalam Islam pemeliharaan anak lebih dikenal dengan hadanah yang merupakan salah satu dari hak anak yang wajib dipenuhi. Secara etimologi, hadanah berasal dari hadlan berarti samping, yakni masuk kesamping. Sedangkan terminologisnya, hadanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil atau perempuan yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa perintah darinya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak melakukan hadhanah. Namun mereka berbeda pendapat dalam halhal terutama tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu dan juga tentang syarat-syarat yang menjadi ibu pengasuh. Selama tidak ada hal yang menghalangi untuk memelihara anakanak, maka ibulah yang harus melaksanakan hadhanah kecuali ada sesuatu halangan yang mencegahnya untuk melaksanakan hadhanah.
Hak-hak anak adalah sebagai berikut:
1. Hak anak untuk hidup
Hak anak adalah diberi nama yang baik karena nama dapat menunjukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan kaidah.
2. Hak penyusuan dan pengasuhan
Untuk menjamin bahwa anak diberi makan, pakaian, dan dipelihara. Al Qur'an menetapkan ketentuan-ketentuan tentang rada'ah. Peraturan ini diajukan untuk melindungi kepentingan anak-anak, baik dalam keluarga yang utuh maupun keluarga tidak utuh.
3. Hak mendapatkan kasih sayang
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk menyayangi keluarga, termasuk kepada anak. Selain itu, Rasulullah SAW Juga mengajarkan untuk mengungkapkan kasih sayang tidak hanya secara verbal, tetapi juga dengan perbuatan.
4. Hak mendapatkan perlindungan dan nafkah dalam keluarga
Sebagai pemimpin dalam keluarga, seorang ayah tentu bertanggung jawab atas keselamatan anggota keluarganya, termasuk anaknya ia akan melindungi anaknya dari hal-hal yang membahayakan anaknya, baik fisik maupun psikisnya.
5. Hak pendidikan dalam keluarga
Anak mendapatkan hak pendidikannya dikeluarga sebelum mendapatkan pendidikan di sekolah. Mendidik adalah tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah sehingga diperlukan pasangan yang seakidah dalam pendidikan anak. Anak mendapatkan pendidikan berupa uswah hasanah dari kedua orang tuanya.
c. Batas usia Mumayyiz
Pengikut Mazhab Hanafi generasi akhir ada yang menetapkan bahwa masa hadanah itu berakhir umur 19 tahun bagi laki-laki, dan umur 11 tahun bagi perempuan. Sedangkan Mazhab Syafi'I berpandangan bahwa batas pemeliharaan anak itu selesai pada saat anak tersebut sudah mumayyiz, yakni saat anak berusia 5 dan 6 Tahun. Dengan landasan hadis Nabi:
Artinya: "Anak diperinahkan untuk memilih antara bapak dan ibunya sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan ditetapkan antara bapak dan ibunya."
Sedangkan pendapat Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa hak ibu mengasuh berakhir pada saat dia berumur 7 tahun, pada saat itu anak disuruuh memilih apakah akan tinggal bersama ibu atau ayahnya. Berdasarkan hadis Nabi:
Artinya: "Dari Abu Hurairah ra. bahwa seorang perempuan pernah berkata: Ya Rasulullah, suamiku ingin membawa pergi anaku padahal dia seorang anak yang mampu memberi manfaat kepadamu, mengambilkan air minum dari sumur Abu Inabah. Setelah itu suaminya pun datang. Nabi SAW bersabda: wahai anak muda, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan salah satu daripada mereka seperti mana yang engkau inginkan. Dia kemudian memegang tangan ibunya dan langsung dibawa pergi." (HR. Imam Ahmad dan Al-Arba'ah, dinilai shahih oleh Al-Timidzi: 1182).
Berdasarkan peristiwa tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak telah dapat membedakan antara ibu dan ayahnya untuk ikut kepada salah satunya, anak dipandang telah mampu menentukan pilihan apabila telah mencapai masa tamyiz. Akan tetapi perlu dijadikan perhatian juga, siapapun yang akhirnya di pilih oleh sang anak , keberhasilan pendidikan agar menjadi tanggung jawab bersama-sama antara ayah dan ibunya. Segala sesuatu terkait anak , harus dimusyawarahkan bersama, jangan sampai perceraian antara ayah dan ibu membuat sianak menjadi korban. Anak yang mengikuti ayah jangan sampia dipisahkan dari ibunya, begitu juga sebaliknya.
d. Hadanah dalam UU Perkawinan, KHI, UU Perlindungan anak dan hukum perdata.
Hadanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya. Hal ini dirumuskan garis hukumnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut. Pasal 41 UUP Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Hak anak terhadap orang tuanya adalah anak mendapatkan pendidikan, baik menulis maupun membaca, pendidikan keterampilan, dan mendapatkan rezeki yang halal. Hal ini menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak berdasarkan pasal 45-49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuat garis hukum sebagai berikut.
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik
(2) Jika anak lebih dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuannya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal-pasal diatas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap diatas segala-galanya. Artinya semangat UUP sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan pada aspek pengasuhan nonmaterialnya.
KHI di dalam pasal-pasalnya menggunakan istilah Pemeliharaan anak yang dimuat di dalam BAB XIV pasal 98-106 sebagai berikut:
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu
Pasal-pasal KHI tentang hadanah menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan material dan non-material merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu, KHI malah membagi tugas-tugas yang harus diemban kedua orang tua kendatipun mereka berpisah . anak yang belum mumayyiz tetap diasuh oleh ibunya, sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya.
e. Pertimbangan Hukum
Petimbangan hukum diartikan suatu tahapan di mana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari dakwaan, tuntutan, eksepsi dari terdakwa yang dihubungkandengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang disampaikan dalam pembuktian, pledoi. Dalam pertimbangan hukum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hukum yang dijadikan dasar dalam putusan tersebut.
Berdasarkan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya jika terdapat kekosongan aturan hukum atau aturannya tidak jelas, maka untuk mengatasinya seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (recht vinding).
Berdasarkan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 50, berbunyi: (1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan di mana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari dakwaan, tuntutan, eksepsi dari terdakwa yang dihubungkandengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang disampaikan dalam pembuktian, pledoi. Dalam pertimbangan hukum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hukum yang dijadikan dasar dalam putusan tersebut. Pertimbangan hakim secara non-yuridis juga disebut dengan sosiologis. Pertimbangan hakim secara sosiologis diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam menyelesaikan permasalahan harus kreatif. Tidak hanya terbelenggu dominasi undang-undang, tetapi harus dapat menggali, memahami dan memperhatikan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini disebut sebagai teori Kreativitas Hakim atau Penemuan Hukum Baru. Penemuan hukum (rechtsvinding), lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwaperistiwa hukum yang kongkrit. Kreativitas hakim ini juga akan bersifat sangat penting ketika mendapati perkara atau permohonan yang tidak pernah ada contoh atas terjadi sebelumnya. Artinya cara berhukum hakim tidak hanya berpikir dengan menggunakan logika dan aturan formal semata, tetapi mesti juga menggunakan hati nurani dan perasaan.
BAB 2 : Gambaran Umum Pengadilan Agama Klaten dan Pandangan Hakim Tentang                                 Penetapan Hak Asuh Anak Belum Mumayyiz
a. Pandangan Hakim Tentang Penetapan Hak Asuh Anak Belum Mumayyiz
Guna memperoleh data dan informasi yang lengkap, maka peneliti melakukan wawancara dengan Pak Nurman Syarif S.H.I.,M.S.I selaku Hakim di Pengadilan Agama Klaten yang memutus perkara Nomor 1077/Pdt.G/2021/PA.Klt yang menetapkan hak asuh anak belum mumayyiz tersebut. Bagaimana dasar pertimbangan hukum yang digunakan Hakim Pengadilan Agama Klaten dalam memutuskan perkara Nomor 1077/Pdt.G/2021/PA.Klt baik secara hukum positif maupun hukum Islam : "Jadi terkait dengan dasar pertimbangan dalam hukum positif Majelis Hakim melihat dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a dan b. kemudian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 45 dan Pasal 41 huruf a dan b. Dan ini tidak bermaksud untuk keluar dari ketentuan dari Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam berisi bahwa anak yang dibawah usia 12 tahun jika ayah dan ibunya bercerai maka hak asuh anak diberikan ke ibunya. Jika sang ibu dianggap kurang layak atau kurang baik hakim bisa menetapkan anak itu ikut ke bapaknya dengan menggali faktafakta yang ada berdasarkan keadilan dan kebaikan untuk anak tersebut. Sedangkan dalam hukum Islam adanya kaidah kemaslahatan dan kebaikan yang harus diutamakan. Batas usia mumayyiz dalam KHI adalah 12 tahun sedangkan mayoritas ulama Mazhab Hanafi, Syafi'I, dan Hambali berpendapat batas usia mumayyiz minimal telah mencapai usia 7 tahun bukan 12 tahun."
Penyebab gugurnya seorang ibu sebagai pemegang hak asuh anak : "Pada dasarnya anak dibawah umur 12 tahun diasuh oleh ibunya dapat dialihkan kepada ayahnya apabila si anak terganggu agamanya, terganggu mentalnya, terganggu pendidikannya dimungkinkan ini dengan pertimbangan hakim hak asuh bisa di alihkan ke ayahnya."
Putusan Pengadilan Agama Klaten Nomor 1077/Pdt.G/2021/PA.Klt menetapkan hak asuh anak belum mumayyiz kepada ayah kandungnya dengan satu alasan yakni untuk kepetingan terbaik anak, bagaimana pendapat bapak dengan putusan tersebut dilihat dari tinjauan hukum positif Indonesia maupun hukum Islam? "Didalam tujuan hukum positif maupu Islam adalah untuk kebaikan, ketertiban, kedamaian, kebaikan, dan kemaslahatan anak, jadi saya berpendapat bahwa ini sesuai dengan tujuan hukum tersebut yakni untuk untuk kebaikan, ketertiban, kedamaian, kebaikan, dan kemaslahatan anak."
 
D. Rencana Skripsi tentang tradisi weton dalam perspektif islam
Judul Skripsi: Analisis Adat Pernikahan Dalam Problematika Tradisi Weton Perspektif Hukum Islam
I. Pendahuluan
Latar Belakang : Memperkenalkan konsep pernikahan tradisi weton perspektif hukum islam.
Rumusan Masalah : Bagaimana praktik penggunaan hitungan weton dalam pencocokan persiapan pernikahan bagi calon pengantin?
Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui praktik penggunaan hitungan weton dalam pencocokan pernikahan bagi calon pengantin.
Manfaat Penelitian : mahasiswa dan masyarakat dapat memahami pemahaman antara tradisi weton dan ajaran islam, mengungkap kesamaan, perbedaan, serta interaksi antara keduanya. Ini tidak hanya memperkaya wawasan tentang keragaman budaya dan praktik pernikahan dalam Islam, tetapi juga membuka pintu bagi integrasi harmonis antara nilai-nilai agama dan budaya lokal.
II. Tinjauan Pustaka
Membahas tentang kultur pernikahan Jawa, hitungan weton dianggap penting sebagai pertimbangan dalam pemilihan pasangan. Namun, penentuan weton harus memperhatikan batasan-batasan syariat Islam.
Membahas tentang praktik perhitungan weton dalam menentukan perkawinan.
Membahas tentang sudut pandang hukum Islam terhadap adat Jawa dalam menentukan kecocokan perkawinan dengan menggunakan perhitungan "weton" dalam primbon Jawa (kalender adat).
hasil Konsep perhitungan weton dalam pernikahan diperbolehkan asal tidak mencedarai syariat Islam.
III. Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan penyusunan adalah jenis penelitian library research artinya metode dengan pengumpulan data dengan cara memahami dan mempelajari teori teori dari berbagai literatur yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya Jawab, sehingga dapat di kontruksikan makna dalam suatu data tertentu.Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self report, atau setidak tidaknya pada pengetahuan atau keyakinan pribadi.
IV. Hasil Penelitian
Bab ini berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian, praktek perhitungan weton dalam pernikahan.
Bab ini juga menjelaskan tinjauan hukum islam terhadap praktek perhitungan weton dalam pernikahan.
V. Pembahasan
Membahas tentang Bagaimana praktik penggunaan hitungan weton dalam pencocokan persiapan pernikahan bagi calon pengantin
Membahas tentang Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap tradisi weton.
VI. Kesimpulan
penggunaan perhitungan weton perkawinan antara lain yaitu keterikatan keluarga terhadap tradisi Jawa, rasa patuh dan hormat terhadap leluhur, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, serta keyakinan pada nilai-nilai keselamatan yang terkandung pada perhitungan weton perkawinan tersebut.
 
VII. Daftar Pustaka
Dengan rencana skripsi ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam pemahaman tentang praktik penggunaan hitungan weton dalam pencocokan persiapan pernikahan bagi calon pengantin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline