Lihat ke Halaman Asli

Menafsir Ke(tidak)adilan PP No 46 Tahun 2013

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1427778688961292053

Seperti tahun-tahun sebelumnya setiap tanggal 31 Maret menjadi salah satu hari tersibuk bagi pegawai pajak di seluruh Indonesia.Hal ini karena pada tanggal ini adalah hari terakhir setiap orang yang tercatat sebagai wajib pajak orang pribadi diharuskan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajaknya.

Banyak hal yang bisa dicatat dari perhelatan rutin tahunan yang berkaitan dengan pajak orang pribadi ini, seperti misalnya banyaknya wajib pajak yang kebingungan dalam mengisi formulir SPT karena banyaknya ketentuan dan peraturan perpajakan yang ada dan bahkan sering berubah-ubah, sehingga seringkali orang tidak melaporkan SPT bukan karena tidak sadar tetapi lebih dikarenakan tidak mau pusing dan repot . Tetapi bagi Konsultan Pajak, mendekati bulan Maret atau April adalah bulan panen mereka.

Satu yang ingin saya komentari adalah tentang jenis pajak yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Jenis pajak final ini diperuntukan untuk UKM dan usaha perdagangan lainnya yang memiliki peredaran bruto/omset tahunannya tidak melebihi 4.8 milyar.Klaim Ditjen Pajak saat terbitnya PP ini dimaksudkan sebagai insentif (dianggap lebih menguntungkan) dibanding dengan sistem norma penghasilan netto yang biasanya sebesar 20-25% dari penghasilan bruto.Jargon ‘satu cara, satu tarif dan satu persen’ ini pun berkibar di jalanan sebagai bentuk sosialisasinya.

Pertanyaannya adalah apakah benar lebih menguntungkan untuk seluruh pelaku usaha di bawah omset 4.8 milyar setahun dengan pengenaan PP No 46 Tahun 2013 itu ?Pertanyaan saya ini pernah dijawab oleh seorang teman yang bekerja di Ditjen Pajak, bahwa dengan PP No 46 Tahun 2013 wajib pajak diuntungkan karena hanya dikenakan 1% dari peredaran omsetnya. Asumsi menurut dia bahwa jika profit usaha adalah rata-rata 7% maka sebenarnya pajak hanya 1% dari 7% tadi atau sekitar 14.3%.

Jika kita hanya melihat satu asumsi itu dan mengabaikan kondisi lain, maka klaim insentif dari PP No 46 Tahun 2013 adalah sebuah kebenaran.Tetapi jika menilik bahwa setiap usaha ada yang memperoleh profit jauh dibawah asumsi 7% tadi atau bahkan rugi, maka PP No 46 Tahun 2013 itu akan menjadi beban yang tidak adil.Sebagai contoh banyak usaha eceran beras (diluar yang menjual di modern market), gula pasir, dan beberpa item jenis sembako lainnya, estimasi profit 7% adalah sangat berlebihan.Misal modal usaha beras rata-rata Rp 8000/kg, umumnya rata-rata profit berkisar Rp 100-300/kg atau setara 1.25 – 3.75%.Bahkan kadangkala modal yang digunakan tersebut berasal dari pinjaman yang juga harus membayar bunga.Untuk kasus-kasus tertentu ini (profit kecil dan beban biaya usaha yang besar) sistem pengenaan pajak berdasar norma bisa menjadi lebih baik karena masih memperhitungkan pengurangan penghasilan tidak kena pajak.

Ketidaktepatan lain yang menurut saya ada dari PP No 46 Tahun 2013 adalah tidak adanya toleransi jika usaha yang dilakukan mengalami kerugian, karena selalu dasarnya adalah peredaran bruto/omset penjualan dikalikan dengan tarif pajak final sebesar 1%.Dibandingkan dengan ketentuan untuk yang memiliki peredaran bruto di atas 4.8 milyar setahun, jika mengalami kerugian maka tidak dikenakan pajak bahkan dapat diberikan kompensasi selama 5 tahun ke depan.

Sehingga apakah masuk akal jika Pemerintah masih mengenakan pajak (meskipun hanya 1%) kepada kalangan usaha kecil, menengah atau jenis tingkat usaha lainnya yang hanya memiliki tingkat profit kecil atau bahkan sedang merugi.

Sumber foto :  infobanknews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline