Lihat ke Halaman Asli

Melihat DPR dan Jokowi dalam Perspektif Kasus Komjen BG

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada acara “Jakarta Lawyer Club” TV One Selasa (13/1/2014) lalu yang membahas tentang Komjen Budi Gunawan (Komjen BG) yang diajukan Presiden Jokowi ke DPR untuk menjadi Kapolri baru, saya merasa cukup terkejut dan takjub.  Terkejut karena pembicara dari unsur partai yang selama ini sering berseberangan dengan Presiden Jokowi (biasa disebut Koalisi Merah Putih - KMP) dengan antusias dan cenderung semangat ingin meng-gol-kan Komjen BG dalam proses  fit proper test di Komisi III DPR esok harinya.  Dan semakin takjub karena pada saat bersamaan justru publik sedang merespon negatif pengajuan Komjen BG oleh Presiden, baik pra maupun pasca di-tersangka-kannya Komjen BG oleh KPK.  Memang KMP dengan koalisi diseberangnya yang menjadi pendukung Presiden Jokowi (Koalisi Indonesia Hebat – KIH) disebutkan sudah melakukan rekonsialisasi politik pasca kegaduhan DPR sebelumnya.  Tentu masyarakat patut bersyukur meskipun masih banyak yang mempertanyakan kesungguhannya, karena dalam berbagai hal KMP masih cukup ‘nyinyir’ untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.

Kesan janggal di atas semakin terlihat pasca disetujuinya Komjen BG menjadi Kapolri melalui Sidang Paripurna DPR (15/1).  Jika yang dikatakan Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon J Mahesa dapat disebut mewakili Partai Gerindra (motor KMP) seperti yang dikutip Kompas Online (15/1) maka jelas ada motif lain dibalik persetujuan tersebut, "Inigame, biar Jokowi yang menentukan. Dia (Jokowi) lantik dia (Budi), maka akan berhadapan dengan KPK. Kalau dia tidak lantik, maka kita akan galang interpelasi".  Sebelumnya keanehan juga ditampilkan oleh anggota DPR dari PKS dan Partai Golkar yang seolah tidak menjadikan penolakan masyarakat dan penetapan tersangka oleh KPK menjadi pertimbangan untuk ikut menganulir Komjen BG di DPR.  Terakhir Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat) yang memang abstain dalam fit and proper test Komisi III menyatakan "Kalau Presiden melantik Budi Gunawan (maka) itu jadi pintu masuk impeachment(pemakzulan) Presiden" (Kompas Online 15/1).   Dari pernyataan dan sikap yang diambil anggota KMP (plus Partai Demokrat) menyiratkan ada sesuatu yang sedang digiring dan akan ditembakan kepada Presiden Jokowi.  Sayang PDIP dan KIH justru seolah menikmati kondisi tersebut karena mungkin memiliki keinginan serupa meskipun dalam perspektif kepentingan berbeda.  Kita tahu bahwa ada salah satu partai politik dan juga elemen lain yang dalam beberapa hal tidak selaras dengan KPK, bahkan pernah menginginkan untuk membubarkannya. Tetapi mudah-mudahan kasus Komjen BG ini bukan dijadikan alat dengan menggunakan tangan Presiden Jokowi untuk melawan KPK.

Dilematis.  Mungkin kata yang pas untuk Presiden saat ternyata DPR justru menyetujui, sementara di pihak lain para Relawan Pendukung Jokowi, KPK dan elemen masyarakat justru melakukan penolakan. Tekanan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda menjadi keriuhan politik dan menjadikan perhatian publik cemas untuk menunggu yang akan diputuskan Presiden.

Jumat malam (16/1), keputusan yang ditunggu pun keluar.  Presiden memutuskan untuk menunda pelantikannya dan memberi kesempatan kepada Komjen BG untuk mengikuti proses hukum (terlebih dulu) di KPK. Banyak yang memberi apresiasi positif terhadap keputusan yang diambil Presiden, meskipun tidak sedikit juga yang masih belum menerima karena tidak secara final menganulir Komjen BG menjadi Kapolri. (Lihat tulisan saya sebelumnya : Apa yang Kau Beratkan Pak Presiden dengan Calon Kapolri-mu?).

Saya satu dari banyak yang ikut mengapresiasi keputusan politik Presiden meskipun bersifat sementara. Setidaknya Presiden cukup cerdas untuk “sementara” keluar dari himpitan dan tekanan berbagai pihak yang berbeda kepentingan. Sebagai orang Jawa saya paham, filosofi untuk tidak memenangkan salah satu pihak tetapi juga berusaha untuk  tidak merendahkan pihak yang lainnya (nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, atau  menang tanpo ngasorake, ngalah tapi ora kalah) setidaknya tepat untuk digunakan. Filosofi Jawa ini menekankan pentingnya sikap andhap asor (rendah hati) dan senantiasa mengupayakan untuk tidak menjadikan orang lain merasa dikuasai dan dikalahkan bahkan dipermalukan tetapi kita tetap dapat memperoleh keuntungan dengan menyelesaikan persoalannya.

Tetapi dalam konteks Komjen BG ini, Presiden Jokowi harus memiliki parameter, pertimbangan dan tenggat waktu untuk bisa survive dengan keputusannya.   Karena semua elemen dan institusi yang berbeda kepentingan - KPK, DPR, Masyarakat -  juga akan memiliki batas parameter, pertimbangan dan tenggat waktu sendiri untuk menentukan sikap baru.  Dan Presiden Jokowi diwajibkan untuk memiliki sikap baru, untuk dapat kembali lolos dari jebakan persoalan berkaitan dengan penentuan Kapolri baru ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline