"Kelaparan adalah masalah yang seharusnya tak lagi ada di dunia modern, namun kenyataannya masih menjadi momok bagi banyak keluarga."
Di era ketika teknologi berkembang pesat dan sumber daya pangan semakin melimpah, jutaan orang masih berjuang sekadar untuk mendapatkan satu porsi makan sehari. Bagi sebagian besar orang, memilih makanan mungkin hanya soal selera, tetapi bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan, pertanyaannya lebih mendasar: apakah ada makanan hari ini?
Masalah ini semakin parah ketika pengangguran merajalela. Tanpa pekerjaan, seseorang kehilangan daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk pangan. Akibatnya, banyak keluarga terpaksa mengandalkan utang, mengurangi jumlah makan dalam sehari, atau bahkan melewatkan makan sama sekali. Realitas ini berbanding terbalik dengan tujuan besar dalam Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu Zero Hunger dunia tanpa kelaparan.
Namun, bagaimana mungkin visi ini terwujud jika jutaan orang masih kesulitan mencari pekerjaan? Jika sumber penghasilan semakin sulit, bagaimana mereka bisa memastikan anak-anak mereka mendapatkan gizi yang cukup? Apakah dunia benar-benar menuju Zero Hunger, atau justru semakin jauh dari tujuan tersebut?
Kelaparan: Bukan Sekadar Tidak Makan
Kelaparan bukan hanya soal perut kosong. Ini adalah lingkaran setan yang membawa dampak jangka panjang, mulai dari kesehatan yang memburuk, pendidikan anak yang terbengkalai, hingga produktivitas yang menurun.
Ketika seseorang tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup, daya tahan tubuhnya melemah, membuatnya rentan terhadap berbagai penyakit. Anak-anak yang kekurangan gizi sejak dini berisiko mengalami keterlambatan tumbuh kembang, baik secara fisik maupun kognitif, yang pada akhirnya berdampak pada masa depan mereka.
Di sisi lain, kelaparan juga memengaruhi akses terhadap pendidikan. Banyak anak dari keluarga miskin terpaksa melewatkan sekolah karena mereka harus membantu orang tua mencari nafkah atau karena mereka tidak memiliki cukup energi untuk belajar. Konsentrasi menurun, prestasi akademik merosot, dan akhirnya, kesempatan mereka untuk keluar dari kemiskinan semakin kecil.
Bagi orang dewasa, kelaparan berarti menurunnya produktivitas kerja. Seorang pekerja yang kurang makan tidak bisa bekerja dengan optimal, baik dalam pekerjaan fisik maupun intelektual. Ini menciptakan efek domino: gaji rendah, kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, hingga risiko kehilangan pekerjaan.
Akhirnya, mereka terjebak dalam siklus yang sama tidak punya pekerjaan, tidak punya uang, tidak bisa membeli makanan, dan semakin sulit untuk bangkit.