Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Dahron

TERVERIFIKASI

Penulis

Budaya Konsumtif di Era Promo: Apakah Diskon Membuat Kita Boros?

Diperbarui: 22 Januari 2025   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi belanja konsumtif yang boros (sumber gambar: universalbpr.co.id)

Di era digital seperti saat ini, budaya konsumtif semakin melekat pada masyarakat. Hal ini didorong oleh kemudahan akses terhadap berbagai platform belanja online dan maraknya promosi yang menggoda. 

Diskon besar-besaran, flash sale, hingga program loyalitas pelanggan seakan menjadi magnet yang sulit ditolak. Tak hanya itu, media sosial juga berperan besar dalam membentuk pola konsumsi masyarakat, dengan konten-konten yang memamerkan gaya hidup mewah atau tren terbaru. 

Akibatnya, belanja bukan lagi sekadar memenuhi kebutuhan, tetapi juga menjadi cara untuk mencari kepuasan emosional dan eksistensi di lingkungan sosial.

Namun, apakah budaya konsumtif ini benar-benar memberikan manfaat, atau justru menyimpan risiko yang dapat merugikan kita di kemudian hari? 

Fenomena “FOMO” dan Psikologi Diskon

Promo dan diskon dirancang untuk memicu perilaku impulsif. Strategi ini sengaja dibuat untuk menciptakan urgensi dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, konsumen didorong untuk segera membeli tanpa berpikir panjang. Frasa seperti “Hanya hari ini!” atau “Diskon hingga 80%, jangan sampai ketinggalan!” menjadi alat pemasaran yang efektif dalam memanfaatkan kelemahan psikologis manusia.

Penempatan angka diskon yang besar di iklan sering kali membuat konsumen lebih fokus pada besarnya potongan harga, bukan pada nilai barang tersebut atau kebutuhan mereka sebenarnya. Misalnya, ketika sebuah produk berharga Rp1.000.000 diberi label diskon 50%, orang cenderung merasa ini adalah “kesempatan langka” tanpa mempertimbangkan apakah produk itu benar-benar mereka butuhkan.

Hal ini semakin diperparah dengan strategi pemasaran seperti menampilkan harga sebelum diskon yang sengaja dibuat lebih tinggi dari nilai aslinya untuk menciptakan ilusi “keuntungan besar.” Konsumen merasa telah mendapatkan potongan harga signifikan, padahal harga setelah diskon mungkin tidak jauh berbeda dari harga normal di tempat lain.

Selain itu, adanya gimmick seperti “beli lebih, hemat lebih” juga mendorong pembelian dalam jumlah besar, meskipun barang tersebut mungkin tidak diperlukan dalam waktu dekat. Sebagai contoh, seseorang mungkin membeli lima bungkus deterjen hanya karena ada promo beli empat gratis satu, tanpa memikirkan bahwa satu bungkus saja sudah cukup untuk kebutuhan sebulan. 

Akibatnya, pengeluaran total meningkat, dan barang yang tidak segera digunakan justru berpotensi menjadi tidak efektif atau rusak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline