Dalam beberapa tahun terakhir, konsep sustainable living atau gaya hidup berkelanjutan semakin populer di kalangan masyarakat. Hal ini didorong oleh meningkatnya kesadaran akan dampak buruk aktivitas manusia terhadap lingkungan.
Dari isu perubahan iklim yang kian nyata hingga ancaman krisis sumber daya alam, masyarakat mulai memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan hidup dan keberlanjutan ekosistem. Kampanye global seperti pengurangan limbah plastik, transisi ke energi terbarukan, dan diet berbasis nabati menjadi topik yang sering dibahas di media, komunitas, hingga meja makan keluarga.
Namun, di tengah maraknya diskusi ini, muncul pertanyaan mendasar, apakah adopsi gaya hidup berkelanjutan ini benar-benar dilandasi kesadaran kolektif terhadap tanggung jawab lingkungan, atau hanya tren sesaat yang dipopulerkan oleh media sosial dan strategi pemasaran?
Dunia saat ini menghadapi krisis lingkungan yang tidak dapat diabaikan. Pemanasan global terus memperburuk kondisi bumi dengan meningkatnya suhu rata-rata, menyebabkan perubahan iklim ekstrem yang memengaruhi ekosistem dan kehidupan manusia. Polusi udara dan plastik juga semakin mengancam kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya, sementara deforestasi merusak habitat alami yang vital bagi keberlangsungan biodiversitas.
Selain itu, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam membuat bumi semakin kehilangan daya dukungnya. Lahan pertanian menyusut, sumber air bersih mulai langka di banyak wilayah, dan lautan penuh dengan sampah plastik yang membutuhkan ratusan tahun untuk terurai. Semua ini bukan lagi sekadar peringatan ilmiah bencana lingkungan telah nyata terjadi dan memengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa di beberapa kalangan, sustainable living telah menjadi simbol status baru. Banyak produk dan layanan yang diberi label "ramah lingkungan" kini dipasarkan dengan harga tinggi, menjadikannya lebih sebagai barang mewah daripada kebutuhan.
Misalnya, pakaian berbahan organik, alat rumah tangga hemat energi, atau makanan organik sering kali dihargai lebih mahal dibandingkan alternatif konvensionalnya. Akibatnya, gaya hidup berkelanjutan kerap dianggap sebagai tren eksklusif yang hanya dapat diakses oleh kelas menengah ke atas.
Fenomena ini menciptakan kesenjangan dalam penerapan sustainable living. Padahal, prinsip dasarnya adalah inklusivitas, di mana semua orang, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi, seharusnya dapat berkontribusi untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Ketika keberlanjutan menjadi komoditas, fokus utama pada tanggung jawab kolektif dapat teralihkan menjadi perlombaan simbol status dan citra diri.
Lebih dari sekadar tren, sustainable living seharusnya menjadi gerakan kolektif. Untuk mencapai dampak yang signifikan, gerakan ini harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari individu, komunitas, hingga pemerintah dan sektor swasta.
Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan regulasi yang mendukung keberlanjutan, seperti menetapkan standar emisi yang lebih ketat, melarang penggunaan plastik sekali pakai, dan memberikan insentif bagi perusahaan yang menerapkan prinsip ramah lingkungan.