Lihat ke Halaman Asli

Bening Tirta Muhammad

Mahasiswa doktoral di Nanyang Technological University, pemerhati pekembangan teknologi, inovasi, kebijakan, dan energi terbarukan.

Penjurusan, Kompetisi, dan Ketidakidealan Sistem Pendidikan Negeri Ini

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Selamat pagi, siang, sore, malam, atau dini hari… Kapan pun kamu membaca tulisan ini… Sedikit postingan serius kali ini, yaitu soal penjurusan di jenjang pendidikan awal dan menengah, khususnya di Indonesia. (Saya baru sadar saya kalau nyerocos bisa lancar kalau ada pemantiknya, entah itu pertanyaan, atau kejadian, atau apa pun. Jarang yang genuine dari dalam diri saya. Selalu ada alasan di tiap tulisan saya atau omongan saya yang agak panjang. Hmm, sulit kayaknya jadi murni penulis fiktif, seperti tante J.K. Rowling.) Jadi, ceritanya saya sekip sebuah jadwal diskusi via Whatsapp di grup Pendidikan & Parenting, yang diinisiasi oleh Forum Indonesia Muda, sebagai wadah bertukar pikiran dan saling belajar terkait isu yang aktual, faktual, dan kontekstual–dalam hal ini Indonesia. Tulisan ini sih biar “ceramah subuh” saya di grup tersebut, menanggapi obrolan malam sebelumnya, ada bekasnya. Here you go! Di Singapura, anak-anak sudah dijuruskan berdasarkan performa intelejensianya sedari SD. Wow! Padahal kita kan datang ke sekolah pas SD buat bergembira, bahkan sebagian kita sampai SMP masih begitu. Bergembira teh maksudnya menikmati hidup… tanpa perlu memikirkan persaingan segala macam. Terlepas dari fakta bahwa saya pernah menangis karena saya pernah juara dua pas SD, saya belum begitu memusingkan nilai dan menyongsong pagi ke sekolah dengan senyum sumringah nan polos jumawa. Oh ya, saya juga pernah menuntut kenapa saya tidak diberi nilai 100, padahal jawaban soal UAS saya betul semua saat diperiksa bersama. “Karena kesempurnaan hanya milik Allah…”, jawab guru Bahasa Inggris saya. Gila lu, Ndro! Saya yang masih hijau menuntutlah! Tetap tidak dikasih 100. Sekarang, saya berasumsi si Bapak pernah ikut pengajian di mana gitu, haha. Kemurnian akal cuma ada pada anak-anak! Kembali ke topik bahasan, intinya di Singapura, kompetisi dimulai lebih awal. Nah, sayangnya, kompetisi ini tidak fair buat yang telat sadar untuk berkompetisi. Oh ya, anak-anak SD di Singapura dijuruskan menjadi fast-track, normal, dan slow *saya lupa istilah yang tepatnya*. Mereka dihakimi sedari kecil… Efeknya adalah anak yang ‘terlempar’ di kelas normal, lingkungan kompetisinya pun akan lebih ‘renggang’ dibandingkan anak yang masuk kelas cepat. Ibarat jangkrik dimasukin ke kotak, lompatannya dibatasi lingkungan. Sedih gak tuh?? Isu kedua soal penjurusan di Indonesia adalah semua mata pelajarannya yang HARUS diambil… Kalau di Singapura sih nggak gitu. Di tingkat SMP dan SMA, mereka diperkenankan memilih mata pelajaran. Kalau di Indonesia kan paketan. Jika memilih IPA, maka semua pelajaran MIPA harus ditelan. Sama halnya dengan IPS. Bagaimana dengan anak yang jago hitung (fisika dan matematika) tapi tidak jago menghafal (biologi)? Terlepas dari ketidakidealan pada sistem pendidikan di negeri ini yang berbasis pengetahuan (what, where, when, who, and which)–bukan analisis (why and how)–kita boleh dong bedain Biologi dan Fisika sebagai pelajaran hafalan dan hitungan? Hehe. Intinya, anak tidak bisa memilih setelah memilih. Sama kayak milih jodoh, kita tidak bisa memilih keadaan keluarga besar sang pasangan *lah?? :D* Berbeda halnya di Singapura, anak-anak bisa customize mata pelajaran yang mereka ambil sesuai kebutuhan mereka. Walaupun di tingkat SMP, tidak begitu leluasa, ada kebebasan memilih di sana. Misal, kalau kamu mau pintar matematika, maka kamu boleh memilih Advanced Math, biar nilai O-levelmu bagus. Kalau tidak tertarik, yang cukup mata pelajaran yang dasar saja. Di tahap SMA (junior college), di sekolah negeri, siswa harus mengambil mata kuliah General Paper (menulis, analisis, dan argumentasi bahasa Inggris), Matematika, dan dua mata kuliah wajib pilihan sains alam/sosial. Total empat mata pelajaran wajib. So, they can take the minimum! Bagaimanapun, kalau orangnya pintar dan punya kapasitas dan minat, biasanya ambil 6-7 mata pelajaran. Yang doyan belajar, maksimal bisa ambil sembilan. Selain menambah bekal, makin banyak mata pelajaran yang diambil berarti makin banyak jurusan yang bisa dicoblos pas pendaftaran kuliah. Bagaimanapun, bersama pilihan ada tanggung jawab. Setelah mengambil mata pelajaran, siswa harus lulus ujian akhirnya. Bisa di-drop sih kalau tidak kuat. Ini sebuah keunggulan sebuah sistem… Setelah dicoba tapi tidak suka, mata pelajaran pilihan bisa ditinggalkan atau diganti. Kalau di Singapura, ujian akhir nasional SD itu namanya PSLE, SMP O-level, dan SMA A-level, yang semuanya mengikuti standar Cambridge. Pernah dengar sistem SKS diberlakukan di SMA negeri? Saya pernah. Intinya pelajaran dua semester ditumpuk jadi mata “kuliah” satu semester. Kalau sudah ambil di semester ganjil, tidak perlu belajar pelajaran X di semester genap. Bodo wae… Semuanya kudu diambil, tapi tidak bisa memilih. Yang ada siswa keder, pelajaran ditumpuk begitu dengan tanpa penyesuaian waktu KBM yang bijak. Soal penjurusan yang paketan di SMA negeri, IPA ya semua IPA, IPS ya semua IPS, sebaiknya dipertimbangkan kembali. Pilihan untuk menyesuaikan bekal sesuai kebutuhan jurusan kuliah perlu disediakan. Kalau kata teman saya,

“Sistem pendidikan di Indonesia cuma melahirkan a bunch of mediocre. Dijejelin belasan pelajaran begitu. Ya keder! Kecuali memang ada beberapa orang beruntung dan bisa mengembangkan dirinya di luar apa yang disediakan sekolah. Lihat di Amerika sana, anak diarahkan sedari dini, umur belasan sudah jago ini itu, bahkan sudah jadi sarjana dan dokter!”

Kalau begitu, benang merah penjurusan adalah kebutuhan. Sepakat? Nah, apakah kita butuh pelajaran yang tidak kita butuhkan nanti? *Ngomong apa gue…* Maksudnya, kenapa kita belajar Biologi kalau nantinya mau kuliah jurusan Computer Science. Buang-buang waktu dan memori… #imo Bagaimanapun saya bersyukur dengan sistem SMA di Indonesia, karena saya bisa jadi manusia serbatahu di kampus, haha. Walaupun tahu kulitnya doang… Ya iyalah, dibandingkan dengan pendidikan SMA di Singapura, ujian pengetahuan di UAN SMA mah, trivial banget. Sedikit cerita dari teman orang Indonesia yang SMP di Depok (?) dan melanjutkan pendidikan di junior college…. Dia bilang pendidikan di Indonesia jarang melibatkan analisis. Menghafal doang. Misalnya pelajaran sejarah… Ketika di Indonesia soal ujian menanyakan kapan dan di mana sebuah kejadian, di Singapura, soal ujian menanyakan mengapa pertimbangan dan dampak perdana menteri A mengambil keputusan bla bla bla. Hmm, menarik kan bisa menganalisa keputusan bersejarah gitu? >.< Terkait analisa yang minim dilibatkan dalam soal ujian sekolah di Indonesia, saya melihat OSN atau kegiatan semacamnya melatih siswa memakai analisanya. Mengapa? Karena soal yang diujikan biasanya sudah dicampuri dengan konteks kehidupan nyata, misalnya pertimbangan dalam skala industri (untuk bidang Kimia). Analisa kasus nyata di lapangan! Lomba karya ilmiah dan sebagainya juga mendekatkan siswa kepada pendayagunaaan sains dalam kehidupan. Jadi sains tidak dihafal, tapi diamalkan. Keren kan? Oh ya, kalau di Amerika, ada istilah fakultas Liberal Arts di mana mahasiswa bebas memilih mata kuliah di tahun pertama dan kedua. Fakultas ini semacam menawarkan safety net buat mahasiswa yang masih belum ‘bulat’ mau berkarir di mana. Mereka bisa menjelajahi minat dan bakat mereka dan akhirnya mengkhususkan diri dengan mata kuliah advanced untuk persiapan skripsi. * Hmm, tulisan ini tentu diharapkan tidak hanya berisi gumaman dan cerita. Perlu ada solusi yang ditawarkan. Apa yaaaa? :D Buat para pendidik praktis, tentu kita tidak boleh dihentikan oleh sistem. Kita harus bisa berkreasi mencukupkan ketidakidealan sistem yang ADA dan HARUS DIPAKAI. Menggalakkan siswa mengikuti lomba-lomba adalah salah satu cara untuk memancing jiwa kompetisi dan menajamkan analisa peserta didik, dimana kurikulum kita tidak memfasilitasi banyak buat itu. Klub bahasa, debat, dan mata pelajaran semisal klub astronomi dan ekonomi, bisa jadi opsi lain yang lumayan praktikal. Anak IPA boleh dong belajar ekonomi, dan anak IPS boleh dong belajar astronomi?? Siswa yang pengen tahu pelajaran jurusan tentangga sebaiknya difasilitasi. Sebaliknya, anak-anak yang tidak suka salah satu mata pelajaran di jurusannya tidak perlu dipaksakan. Mendingan ahli di satu bidang daripada pada jadi medioker di semua, kan? Lalu, untuk memperbaiki sistem yang buruk, negara ini juga butuh banyak orang dan usaha terus-menerus untuk menyempurnakan sistem di tahap kebijakan. Kita butuh orang-orang yang benar-benar berniat baik menyelesaikan masalah pendidikan di negeri ini–bukan orang yang hanya tambal-sulam kurikulum dan membuat perubahan insignifikan dengan biaya yang signifikan. Lebih gampang mencanangkan perubahan di sekolah swasta sebenarnya. Tapi, jangan lupakan sekolah negeri dimana mayoritas rakyat usia wajib belajar menuntut ilmu (dari negara). Ya itu tadi, jangan membatasi diri dengan ketidakidealan sistem! Mari mendobrak stagnansi (budaya nrimo) dan mencari peluang bagaimana ada usaha penyempurnaan pada sistem yang tidak sempurna. Sekian, racauan pagi ini. Semoga rasio “nilai omongan/jumlah kata” di tulisan ini tidak buruk-buruk amat. Hehe.

Negeri ini butuh lebih orang yang mengerti esensi, sehingga makin sedikit uang yang dibuang untuk eksistensi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline