Saat ini, partai-partai mulai merapat dan meraba-raba kemenangan. Bagi PDI-P pasti kemenangan rasanya sudah dekat. Bolehlah sombong sedikit karena Lenteng Agung bakal jadi primadona ziarah/safari politik menjelang 16 Mei nanti.
Di sini lain, partai papan tengah pasti lagi blingsatan internalnya karena bingung--terutama partai yang tidak punya pegangan, kecuali asas untung-rugi yang sangat transaksional--memilih kawan yang lebih kuat, yang bersedia berbagi potongan kue dengannya. Kalau backing yang kuat cuma buat merampok negara, buat apa?
DPP Hanura sepi bukan kepalang, investasi sudah begitu besar tapi dengan 5 persen suara tentu saja bargaining power Pak Wiranto/Om HT menjadi sangat kecil.
PKS pun sedikit tercekat karena perolehan suaranya menurun dibandingkan 5 tahun lalu, turun sekitar 1%. Partai yang menularkan pengaruhnya lewat sistem kaderisasi dan "kekeluargaan" ini harusnya mendapatkan dukungan jauh lebih besar setelah periode 5 tahun ini. Berapa banyak pertambahan kader baru, anak-anak para kader yang sudah cukup umur, istri & suami para kader, orang tua dan mertua para kader yang seharusnya? Ada indikasi bahwa 7,88% suara di 2009 itu kebanyakannya adalah simpatisan temporal a.k.a. swing voters. Setelah isu/kasus korupsi dan pergantian penokohan (dari HNW ke AM?), sebagian simpatisan jadi antipati.
Nasdem di sisi lain muncul sebagai alternatif ketika pemilih bosan--ya cuma karena bosan--dengan pilihan yang ada. Human being can be that shallow. Kabar baik buat Nasdem yang bisa menggaet orang-orang yang sudah punya bukti kontribusi di lapangan. Perolehan suara Nasdem tentu tidak lepas dari kekuatan MetroTV yang (dahulu) jadi idaman sumber berita masyarakat yang capek dengan siaran infotainmen, berita kriminal, FTV, dan sinetron "ke pasar naik naga".
Penokohan dan "blusukan" Gerinda ke desa-desa tani juga membuahkan hasil. Prabowo digadang sudah menyiapkan sistem yang kuat untuk Pemilu 2014 ini sejak 2009. Naik 10an persen tentu sesuatu sekali bagi partai ini.
Ulasan partai lain diskip saja ya, hehe.
Melihat "kemajuan" partai-partai tertentu tentu tidak lepas dari modal besar para dedengkot partainya, media yang mereka punya, dan kelihaian memilih caleg khususnya untuk DPR RI. Naik-turun dukungan juga dipacu oleh citra yang tertanam di benak para pemilih. Popularitas adalah kunci kemenangan di negeri ini, di mana demokrasi belum masak. Adu kontribusi kalah dengan adu janji. Orang baik tidak diunggulkan karena kalah pintar memasarkan diri.
Di satu sisi kita bersyukur peran media di zaman reformasi sudah (semakin) fair. Dari monopoli menjadi pasar bebas. Nah, masalahnya, di sistem "pasar bebas" ini, yang kuat yang akan menang. Finansial partai nomer satu! Nyaleg means urunan. Merangkak menuju kursi kepresidenan mahal harganya. Dibalik wajah idealis iklan partai tentu ada miliyaran uang dikeluarkan untuk operasional partai. Demokrasi tidak murah, Bung!
Ketika tidak banyak pilihan yang bisa dipercaya, banyak orang yang golput. Golput adalah sebuah ekstrim ignorance (ketidakacuhan) atas nasib triliyunan anggaran belanja negara dan nasib anak-cucu kita. Dan sosok Jokowi muncul di saat yang tepat, di saat kepercayaan menipis. Jokowi datang dengan (sedikit) bukti. Keputusan yang tepat juga yang dibuat Ibu Mega untuk mengutus beliau maju, sehingga ada alternatif baru... selain calon kuat ARB dan Gerindra.
Sayangnya, dukungan pada PDI-P tidak begitu signifikan naiknya setelah Jokowi diresmikan cari capres usungan. Polling bilang, dukungan Jokowi bisa sampai 30% lebih. Buktinya? Mungkin ada yang miss. Mungkin polling-polling yang ada meleset karena respondennya cuma kaum terdidik, atau cuma dibuat di Jabodetabekdung. Mungkin juga, ada banyak orang yang tidak tahu bahwa jika ingin mengantarkan Jokowi ke kursi panas, harusnya mereka memilih caleg dari partai Moncong Putih ini. Oh ya, polling-nya cuma buat Jokowi sebagai presiden. Jadi, ada kemungkinan cawapres yang tidak tepat bakal membanting keterpilihan Jokowi nantinya.