Seiring dengan kemudahan media sosial yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja serta didukungnya penayangan konten secara real time menjadikan penyebaran ideologi radikalisme dapat dilakukan dengan mudah dan menjangkau audiens yang lebih luas. Selain itu dengan membungkus ideologi radikalisme ke dalam konten yang menarik dapat membuat persepsi bahwa konten ideologi radikal tersebut adalah konten yang “aman” dan “benar”.
Kemudahan akses terhadap konten tersebut kemudian mampu mempengaruhi perilaku individu menjadi radikal hingga pada paparan yang berlebihan terkadang menimbulkan suatu keinginan untuk melakukan sebuah aksi sebagai simbol ideologi radikal walaupun seorang diri. Individu yang melakukan aksi ini disebut sebagai teroris Lone Wolf, sebuah sebutan yang didasari oleh aksinya yang dilakukan secara sendiri tanpa dukungan langsung dari organisasi teroris terkait. Penyebutan Lone Wolf ini merujuk pada perilaku perilaku serigala yang meninggalkan atau ditinggalkan kelompoknya.
Pelaku teroris Lone Wolf membuat rencana, strategi, metode hingga aksinya sendiri tanpa arahan langsung dari pihak lainnya. Teroris jenis ini dapat dikatakan sangat berbahaya karena kreativitas hingga inovasi bukan hasil dari kelompok melainkan hasil pikiran dan keputusan sendiri sehingga sulit untuk dideteksi maupun dilacak. Dikarenakan tindakan dan aksinya yang dilakukan secara sendiri tanpa komando juga menjadikan pelaku sulit untuk diidentifikasi bahkan oleh orang terdekatnya seperti keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Di Indonesia telah terjadi beberapa aksi terorisme Lone Wolf antara lain :
- Serangan Bom ke Markas Polisi Medan, Sumatera Utara pada 2019
- Peledakan Bom di Pos Polisi Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah pada 2019
- Perakit Bom Panci di Bandung pada 2017
- Teror Bom di Mal Alam Sutera pada 2015
Kasus teroris Lone Wolf terkini dilakukan oleh Zakiah Aini dengan menyerang Mabes Polri pada Rabu, 31 Maret 2021. Penyerangan ini bermula pada 16.30 WIB dimana Zakiah Aini pada awalnya bertanya mengenai kantor pos dan kemudian meninggalkan Mabes Polri setelah diberikan pelayanan oleh anggota yang bertugas. Setelah beberapa saat, Zakiah Aini kemudian kembali dan melakukan penyerangan dengan melakukan penembakan pada anggota yang berada di pos jaga. Tindakan pelaku kemudian memaksa polisi untuk melakukan tindakan tegas dengan cara menembak pelaku yang bersangkutan.
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menyebutkan bahwa Zakiah Aini menganut ideologi radikal ISIS. Sebelum melakukan aksinya, Zakiah Aini sempat memposting di akun Instagramnya berupa bendera ISIS, tulisan perjuangan jihad dan surat wasiat. Selain itu, Zakiah Aini juga sempat berpamitan di grup Whatsapp keluarga. Zakiah Aini dulunya merupakan mahasiswa semester 5, namun ia drop out dari bangku perkuliahan. Menurut keterangan Lurah Kelapa Dua Wetan tempat Zakiah Aini tinggal, Sandy Adamsyah, pelaku jarang berinteraksi dengan warga sekitar setelah ia tidak melanjutkan perkuliahan.
Pengamat Intelijen dan Keamanan Negara, Stanislaus Riyanta mengatakan pelaku Lone Wolf biasanya terpapar ideologi ISIS melalui proses swaradikalisasi. Sumber informasi ini berasal dari medium-medium digital yang mudah diakses seperti internet dan lainnya. Pengamat terorisme Ansyaad Mbai mengatakan bahwa melalui penyebaran video kekerasan atau kekejaman di Timur Tengah seperti aksi penindasan dan pembantaian kelompok radikal yang diklaim sebagai Muslim menimbulkan sebuah rasa empati. Rasa empati ini kemudian perlahan berubah menjadi self radicalization seiring dengan timbulnya dorongan untuk melakukan sebuah aksi.
Media sosial juga digunakan untuk merekrut serta memberikan arahan sekaligus doktrinasi pada rekrutan mengenai ideologi terkait. Mayoritas pelaku teroris Lone Wolf di Indonesia merupakan generasi milenial dimana mereka dominan menghabiskan waktunya di media sosial serta masih mudah untuk dipengaruhi.
Hal ini didukung dengan pemahaman agama yang kurang memadai serta dengan anggapan bahwa mendalami agama adalah tindakan orang-orang alim yang kemudian menjadikan mereka tidak dapat memilah antara baik dan buruk. Selain itu algoritma yang terpasang dalam media sosial juga sedikit berperan dalam menghadirkan konten yang serupa dengan konten yang kemungkinan disukai atau berinteraksi dengan pengguna media sosial. Apabila pengguna sosial sering berinteraksi dengan konten radikalisme secara intens maka algoritma yang terpasang akan berusaha menghadirkan konten serupa untuk menyesuaikan selera pengguna.
Deputi VII Badan Intelijen Negara, Wawan Hari Purwanto menyatakan bahwa rentang waktu teroris Lone Wolf melakukan aksi penyerangan mulai dari satu sampai enam bulan setelah terpapar konten radikal. Selain itu terdapat kemungkinan pengaruh radikal dari teroris Lone Wolf bersifat sporadis terlepas dari aksinya yang dominan sendiri.
Dikarenakan sifatnya yang sporadis, terdapat kemungkinan para teroris Lone Wolf ini bergabung menjadi satu yang kemudian disebut dengan istilah teroris Wolf Pack. Kasus Wolf Pack ini pernah ditemukan di Malaysia namun di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ditemukan bukti keberadaannya. Hal ini dikarenakan sifatnya yang transparan serta lebih mengarah dari balik layar menjadikan pendeteksian awal terhadap individu yang telah terpapar sangat sulit hingga aksi penyerangan dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H