The nine dash, sembilan garis putus-putus (SGT) yang dikeluarkan oleh Republik Rakyat China menjadi akar konflik ketegangan di wilayah laut cina selatan, garis ini menjadi sumber sengketa bagi beberapa negara sekitar wilayah Laut Cina Selatan, Vietnam, Filipina, Brunei hingga Indonesia (Wilayah Natuna) turut terkena imbas situasi yang merugikan banyak pihak ini.
SGT tidak diakui oleh komunitas internasional, apalagi dengan keputusan China yang meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Covention on the Law Sea- Unclos) pada tahun 1982, dimana sikap China perihal tidak mengenal hak negara tertentu untuk mengklaim kedaulatan atas sebagian atau keseluruhan Laut China Selatan, alhasil timbul kontroversi dan sudut pandang berbeda dari setiap negara yang bersinggungan dengan wilayah ini. Diantara kasus-kasus pelanggaran hingga mengganggu stabilitas keamanan Negara-negara Asean antara lain:
- Filipina
Melalui citra satelit yang didapat dari Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), beberapa kapal kepemilikan China ditempatkan di Iroquois Reef, sebuah wilayah yang berada di Laut Filipina Barat, kurun waktu 12 bulan hingga September 2022 sudah terdapat 2 sampai tiga puluhan kapal berada di wilayah ini (Kadam, 2022).
- Vietnam
Pemerintah Vietnam mengkonfirmasi bahwa Hayang Dizhi 8 (Kapal survei minyak miliki China) beserta pengawalnya melanggar kedaulatan, dengan melakukan aktivitas di wilayah selatan laut timur. China telah melanggar zona ekonomi eksklusif dan batas landas kontinen Republik Vietnam.
- Malaysia
Melansir dari data Marine Traffic, setahun setelah kejadian Hayang Dizhi milik China terlibat kebuntuan dengan kapal-kapal Vietnam. Tercatat, 15 Juli 2020 kapal kepunyaan China terlihat mulai bergerak ke arah selatan ke wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Malaysia, tepatnya di perairan 352 Kilometer (218) mil lepas pantai di utara ZEE Malaysia (Latiff & Pearson, 2020).
- Brunei Darussalam
Pada tanggal 16 April 2020 kapal Hai Yang Di Zhi 8 beserta setidaknya enam kapal pengawal China Coast Guard (CCG) didapati sedang mengamati wilayah perairan yang berada di daerah sekitar 190 mil laut lepas pantai Brunei, menurut data pelacakan kapal yang dianalisis oleh RFA (Long, 2020)
- Indonesia
Pada tahun 2019, tepatnya Bulan Desember. Indonesia memprotes pelanggaran China terkait adanya kapal penjaga pantai China yang mengawal kapal penangkap ikan illegal menuju laut utara Kepulauan Natuna, kejadian ini berada di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara (Darmawan A. R., 2020)
Sikap agresif yang ditunjukan China alangkah baiknya selalu direspon dengan tepat oleh pemerintah Indonesia, jangan sampai kita lengah, apalagi jika nanti sampai menyentuh wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia..
Stephen M. Walt mengungkapkan teori "Balance Of Threat" bagaimana mengidentifikasi empat faktor kunci yang berpengaruh terhadap persepsi ancaman, yaitu: kekuatan agregat, kedekatan geografis, kapasitas ofensif, dan niat ofensif.
Jika dibenturkan dengan kasus di laut china selatan, maka dapat dikemukakan bahwasanya China menjadi sebab adanya potensi ancaman bagi negara di kawasan Asean. Amerika Serikat turut berperan aktif dalam situasi konflik ini, menimbulkan efek negatif dan positif.
Kehadiran Amerika Serikat dapat menjadi tekanan bagi Republik Rakyat China untuk tidak bertindak lebih jauh lagi terhadap ambisinya menguasai Laut China Selatan, namun disatu sisi bisa terjadi adanya eskalasi militer dan timbulnya perang di kawasan Laut China Selatan.