Lihat ke Halaman Asli

Penantian yang Tak Berujung

Diperbarui: 1 Maret 2022   21:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: nusantaranews.co (Ujung Penantian; Sajak kepada Perempuan 16 Juli) 

Pagi elok itu menunjukan cengkeraman jari-jari matahari yang seperti hampir mengambil ubun-ubun. Tapi, itu hanya dirasakan oleh Pak Tani. Tidak dengan para burung yang semakin semangat untuk mengeluarkan segala perasaan kesal di batinnya. Bagaimana tidak? Buah-buahan, padi-padian, binatang-binatang serangga susah ditemui. Saat seperti itu burung pipit sudah tidak menjadi musuh Pak Tani justru mereka saling bersahabat karena kesengsaraan.

Pagi itu Mbok Tutur hendak mengirim nasi dan lauk untuk suaminya.  Dia berjalan lambat-lambat, kakinya sudah tak mampu memapah beban badannya lagi. Usianya sudah tua! Tapi semangatnya tak bisa tua! Suaminya merupakan seorang petani penggarap lahan seorang tuan tanah, yaitu Juragan Edi yang tanahnya berserakan. Kali itu, Mbok Tutur mencoba menaiki batu tumpuan galengan yang cukup tinggi. Batu itu terlihat hitam bening dan sangat licin. Dan benar saja saat menanjaki batu itu Mbok Tutur terpeleset dan semua kiriman untuk suaminya jatuh ke sawah. Padahal itu pesediaan makanan terakhir yang ada di gubuknya. Bagaimana mereka mau makan nanti? Duh Gusti.

Duh, biyung. Panganan mung-mungan nggo Darsim malah tumplek”  terlihat wajah sedih bercampur marah.

Dia tahu suaminya pasti tengah menunggu kiriman itu. Saat itu matahari sudah di atas ubun-ubun yang menandakan waktu makan. Pasti Darsim sudah kelaparan dan kepanasan di gubuknya. Bagaimana kalau ia tahu makanan jatahnya ini tumpah berceceran? Betapa takut diriku untuk menghadapnya. Tapi, aku percaya di sisi lain ia mengerti keadaanku yang seperti ini. Maka Mbok Tutur kembali berdiri dan berjalan pelan seperti keong yang hendak menjemput lumut.

Saat ia berdiri bebek-bebek milik Pak Sardi menyerbu tumpahan nasi di sawah tadi. Alangkah sedih diri Mbok Tutur karena semua itu sia-sia. Tapi, tak apa suaminya orang yang baik. Mbok Tutur segera bergegas ke ladang suaminya untuk memberitahu akan hal itu. Angin sayup mengibaskan rambut putih perempuan itu. Tanah galengan  membentuk jejak kaki tua yang telah keriput itu.

Saat angin tengah menyegarkan harinya, Mbok Tutur berpapasan dengan Pak Kaper yang telah meninggalkan ladangnya. Mungkin pekerjaannya itu telah selesai. Hingga akhirnya Ia pulang.

Uwisan rampung nggone nggaleng apa, Pak?” Tanya Mbok Tutur membuka percakapan dua manusia itu.

Pak Kaper tak langsung menjawab, yang terlihat hanya muka murung dan keringat yang bertetesan di seluruh badannya. Lalu ia pergi meninggalkan pertanyaan yang terlalu basi itu. Saat itu timbulah pikiran dan perasaan was-was pada seorang Mbok Tutur. Ia merasa ada yang tidak beres di sawah. Kemudian ia semakin mempercepat langkahnya walaupun secepat-cepat langkah Mbok Tutur lebihlah cepat langkah ayam yang tengah menggiring anak-anaknya.

Sesampainya di ladang Juragan Edi, Mbok Tutur semakin bingung karena suaminya tak ada di tempat biasa untuk mengaso. Ia lalu mencari dengan penuh kekhawatiran dan ternyata suaminya tengah merebahkan dirinya di pekarangan kosong. Terlihat dari raut mukanya, Ia tengah kelaparan dan kecapean.

Lesu ya, Pak?” Tanya Mbok Tutur dengan muka memelas dan meminta maaf,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline