Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ridwan Aziz

Flexible Realist

Risiko Ketimpangan Sosial Akibat Kenaikan PPN 12 Persen dan Pelajaran dari Vietnam

Diperbarui: 23 Desember 2024   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seorang perempuan sedang membandingkan harga barang yang akan dibeli di sebuah pusat perbelanjaan (Sumber: Dok. Pribadi/Canva)

Pemerintah menetapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan ini berlandaskan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, seperti yang ditulis oleh Nabila Azzahra dalam Tempo (Desember 21, 2024), menyatakan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara seperti Afrika Selatan (15 persen), India (18 persen), Brasil (17 persen), dan Turki (20 persen). Namun, kebijakan ini menuai protes dari berbagai kalangan yang menilai kenaikan PPN justru akan memperlebar ketimpangan sosial di Indonesia.

Kenaikan PPN dan Dampaknya pada Daya Beli

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024. Pada bulan September, deflasi bulanan mencapai 0,12 persen, naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,03 persen. Meski deflasi ini menunjukkan penurunan harga, daya beli masyarakat malah melemah secara signifikan.

Survei Konsumen BI edisi November 2023 pada laman CNN Indonesia (Agustus 10, 2024) menunjukkan bahwa rasio konsumsi kelompok dengan pengeluaran di bawah Rp5 juta sebagian besar mengalami penurunan. Penurunan terdalam terjadi pada kelompok pengeluaran Rp2,1 juta--Rp3 juta, diikuti kelompok Rp4,1 juta--Rp5 juta. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat harus merelakan tabungannya, di mana alokasi pendapatan untuk menabung turun dari 15,7 persen menjadi 15,4 persen.

Menurut Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja pada laman batamtoday.com (Agustus 08, 2024), penurunan daya beli masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu maraknya perjudian online, berkurangnya diskon belanja online, dan tingginya hutang masyarakat pada pinjol ilegal.

Perbandingan dengan Vietnam

Di tengah situasi pelemahan daya beli dan kondisi ekonomi yang menantang, Indonesia justru menaikkan tarif PPN. Hal ini berlawanan dengan langkah yang diambil Vietnam. Sebagai mitra dagang utama Tiongkok yang ekonominya sedang lesu, Vietnam memahami bahwa stimulus terbaik adalah menjaga tarif pajak tetap rendah. Menurut laporan Kompas (Desember 21, 2024), Vietnam lebih memilih menurunkan tarif pajaknya dan fokus pada peningkatan pemenuhan pajak.

Strategi ini berhasil memberikan dorongan yang signifikan terhadap penerimaan pajak tanpa membebani masyarakat. Dengan tarif yang lebih rendah, Vietnam mampu menjaga konsumsi domestik tetap kuat, sekaligus meningkatkan pemenuhan pajak yang pada akhirnya berdampak positif pada pendapatan negara. Sebaliknya, di Indonesia, logika yang digunakan justru terbalik. Tarif yang mencakup pajak, sementara tingkat pemenuhan pajak masih rendah. Laporan terbaru Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat pemenuhan pajak di Indonesia masih sangat rendah, menjadi salah satu tantangan utama dalam meningkatkan rasio pajak.

Ketimpangan Sosial yang Semakin Melebar

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline