KONTROVERSIAL BEBERAPA PASAL DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA INDONESIA, DAN APAKAH MASIH RELEVAN DITERAPKAN PADA MASYARAKAT MODERN?
Muhammad Aulia Hakim
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
- PENDAHULUAN
Indonesia menyatakan kemerdekaannya terhitung tujuh puluh sembilan tahun lalu hingga artikel ini ditulis, Proklamasi sebagai simbolis terlepasnya belenggu penjajahan kolonial dan menyatakan kehendaknya sebagai bangsa yang independen. Tetapi, Perginya bangsa Belanda dari tanah air tidak hanya meninggalkan sejarah di bidang infrastruktur, pendidikan, dan budaya saja, tetapi juga meninggalkan sejarah dibidang hukum. Hukum merupakan komponen yang sangat penting sebagai pedoman mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, beberapa peninggalan dibidang hukum masih dipakai hingga saat ini oleh bangsa Indonesia sebagai rujukan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah Burgerlijk Wetboek (BW) yang hasil terjemahannya sampai sekarang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebagai bangsa yang pernah menjadi salah satu daerah kolonial Belanda, Burgerlijk Wetboek (BW) sudah digunakan sejak Indonesia merdeka sebagai acuan hukum keperdataan di Indonesia. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945/UUD NRI 1945. Maka BW Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku sebelum digantikan undang-undang baru berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kendati demikian, hingga saat ini belum ada Undang-Undang KUH Perdata sebagai pengganti dari BW Hindia Belanda yang disahkan. Sehingga KUHPerdata yang merupakan hasil terjemahan dari Burgerjilk Wetboek (BW) tersebut masih menjadi dasar dibidang hukum keperdataan Indonesia hingga sekarang.[1]
Keadaan dan kebutuhan hukum pada zaman itu dan sekarang tentu sangat berbeda, sifat hukum sudah seharusnya bergerak dinamis menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada di masyarakat. Hal ini tentu dapat menimbulkan kontroversial, pertanyaan, dan kebingungan dari masyarakat apabila hukum yang mengaturnya sudah tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Karena lahirnya kekhawatiran tersebut, penulis memberikan contoh beberapa pasal yang dianggap kontroversial, dan sudah tidak relevan apabila di sepadankan dengan kebutuhan, serta perilaku ataupun kebiasaan yang ada pada kondisi masyarakat modern di Indonesia.
- PEMBAHASAN
Poin pembahasan yang pertama adalah pasal menggunakan bahasa dan struktur hukum yang masih kuno. KUHPerdata masih menggunakan bahasa dan struktur hukum yang telah ada sejak abad ke-19, hal ini mengakibatkan dalam interprestasinya terkadang sulit difahami oleh masyarakat awam sehingga memerlukan tafsiran seorang ahli hukum. Seperti pasal 1313 KUHPerdata yang mengatakan "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih". Definisi perjanjian tersebut sangat singkat dan tidak mencakup komponen seperti objek perjanjian, syarat sah, ataupun sebab perjanjian tersebut. Selain itu, beberapa kelemahan ditemukan seperti kata "mengikatkan dirinya" yang sifatnya berasal sepihak saja dan tidak terlahir dari kedua belah pihak, yang seharusnya diganti menjadi "saling mengikatkan" agar terwujud konsensus antara kedua belah pihak.[2]
Pembahasan yang menjadi fokus berikutnya adalah pasal yang tidak relevan dengan perkembangan zaman di masyarakat modern. seperti pasal 108 KUHPerdata yang mengatakan melarang seorang istri untuk membuat suatu perjanjian tanpa persetujuan dari suami. Hal ini tentu mencerminkan pandangan yang masih tradisional serta bersinggungan dengan konsep kesetaraan gender, seperti yang diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Sebagaimana yang tertulis tersebut, negara telah mengafirmasi terkait kesetaraan pada warga negara tanpa memandang gender. Terlebih hingga artikel ini ditulis, kondisi akan kesetaraan gender di Indonesia terus diupayakan dan digaungkan.[3]
Selanjutnya adalah adanya dualisme sistem hukum. terkadang adanya hukum adat dan hukum nasional seperti KUHPerdata bersinggungan dan berpotensi mengakibatkan konflik. Biasanya urusan keperdataan seperti warisan ataupun perebutan tanah, dikarenakan beberapa daerah di Indonesia lebih menekankan hukum yang berlaku di daerahnya.[4] Seperti pada pasal 832 KUHPerdata yang mengatakan "Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah". Namun dalam hukum waris di bali melarang perempuan untuk menjadi ahli waris ataupun mewarisi, hal ini disebabkan perempuan dianggap kurang layak karena tanggung jawabnya yang berat. Didalam hukum adat bali pewarisan seperti ini sudah mencerminkan keadilan, karena seorang perempuan dianggap akan menikah di dalam dan di luar keluarga suami. Maka dianggap tepat hak waris jatuh kepada anak laki-laki pada keluarga yang menopang tanggung jawab merawat orang tua ketika sudah tidak mampu untuk bekerja, dan yang memenuhi tanggung jawab mereka bukan perempuan melainkan anak-anak.[5]