Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional yang diakui, peran negara sebagai subjek hukum internasional yaitu untuk menjaga eksistensinya. Pada era globalisasi ini, negara dituntut untuk turut serta dalam kerja sama internasional misalnya kerja sama di bidang politik, ekonomi, teknologi, Kesehatan dan masih banyak kerja sama antar negara lainya. Kerja sama antar negara dilakukan dengan cara pendekatan dengan negara lain, pedekatan antar negara itu bisa disebut juga dengan hubungan diplomasi. Hubungan diplomatik tersebut selanjutnya di atur secara jelas dalam konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik (Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961).
Untuk membuka hubungan antar negara terdapat pada pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang berbunyi, "The Establishment of diplomatic relations between states, and of permanent diplomatic missions, take place by mutual consent." yang dapat diartikan bahwa pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukan perwakilan diplomatik tetap dilakukan atas dasar kesepakatan bersama secara timbal balik, lewat jalur diplomatik ini hubungan komunikasi yang dilakukan antara negara lebih mudah dan lancar, Untuk menjamin kelancaran tugas dari para perwakilan diplomatik, mereka diberikan hak-hak khusus. Hak-hak tersebut adalah Hak Kekebalan (immunity) dan Hak Keistimewaan (privileges).Tetapi, pada pratiknya banyak penjabat penjabat diplomat yang menyalagunakan hak-hak tersebut.
Contohnya pada bulan maret 2015 pejabat diplomatik Korea Utara (Sekretaris I) untuk Bangladesh, Son Young Nam, ditangkap di bandara Dhaka dengan kasus penyelundupan emas 27 kg. Pada saat itu Son Young Nam terbang ke Singapura, saat sampai dibandara singapure Son Young Nam di periksa oleh petugas bandara, tetapi Son Young Nam tidak mau untuk diperiksa lalu Son young Nam menunjukan red passport dengan dalih agar tidak di periksa oleh petugas bandara. Pada akhirnya Son Young Nam berhasil di periksa oleh petugas bandara setelah beberapa lama berdebat dengan petugas, dan benar terbukti Son Young Nam membawa Emas seberat 27 kg.
Sebagai seorang diplomat Korea Utara, Son Young Nam bertanggung jawab untuk mengikuti aturan yang tercantum dalam Konvensi Wina 1961, Konvensi New York 1969, dan menghormati hukum negara Bangladesh sebagai tempat akreditasinya. Tindakan yang dilakukan Son Young Nam dengan menyelundupkan emas ke negara Bangladesh dapat dianggap sebagai penyalahgunaan hak kekebalan diplomatik. Tindakan tersebut telah melanggar Pasal 27 dan 41(1) Konvensi Wina 1961 serta Pasal 25b Undang-Undang Kekuasaan Khusus Bangladesh. Meskipun memegang hak kekebalan, hak tersebut tidaklah absolut. Izin kekebalan bisa dikesampingkan jika terjadi pelanggaran serius yang dilakukan oleh pejabat diplomatik.
Tindakan penyalahgunaan hak kekebalan yang dilakukan oleh Son Young Nam, seorang pejabat diplomatik dari Korea Utara, pastinya akan berdampak pada aspek hukum, baik bagi Korea Utara selaku negara pengirim maupun bagi Bangladesh selaku negara penerima. Berdasarkan aturan yang tercantum dalam Pasal 22 ayat 2 dan 31 ayat 3 Konvensi Wina 1961, Bangladesh memiliki hak untuk mengambil tindakan hukum terhadap Son Young Nam, seperti permintaan pencabutan hak kekebalan dan/status persona non grata. Dalam situasi ini, Bangladesh telah mengambil langkah untuk menyatakan Son Young Nam sebagai persona non grata dan meminta agar ia diadili di negaranya. Sebagai negara pengirim, Korea Utara berhak menentukan apakah akan mengabulkan permintaan tersebut.
Hanya setelah Korea Utara mencabut hak kekebalannya, Son Young Nam dapat diadili. Dalam hal ini, Korea Utara tidak memenuhi permohonan Bangladesh untuk mengadili Son Young Nam. Korea Utara hanya menyampaikan permintaan maaf sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H