Lihat ke Halaman Asli

Tragedi Malam Pertama

Diperbarui: 10 Januari 2025   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia berhasil menyakinkan orang, mulut yang pandai melingkar lidah, membuat kepala tak mau henti bergoyang. Semua jurus dikeluarkan lagaknya orang terkuat dimuka bumi. Teori konsistensi Leon festinger terangkat tinggi, tiada yang menandingi. Kepercayaan diri yang memuncak, membuahi pikiran orang banyak bahwa ia benar bersungguh-sungguh. 

Sebenarnya ada keraguan pada Iki, salah satu rekan, namun memilih mengikuti arus. Seiring waktu berjalan, ia dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang membuat dinding iman bergetar, bahkan terlalu khawatir ia perna setengah tahun mengurung diri dirumah. 

Hidup adalah pilihan, tapi adakah hidup yang sanggup tanpa cinta? Tentu bukan hal sepele memilih untuk tidak berpacaran (jomblo) apalagi sampai tidak mau terjerumus ke hal-hal yang mengatasnamakan cinta. 

Suatu waktu, di pelataran gedung Kembar, hatinya berdebar kencang seperti gempa bumi 1960, tiada yang bisa menahan, tiada satupun bangunan yang kokoh. Peristiwa itu meruntuhkan segala yang keluar dari mulutnya. 

Bagaimana tidak? Daya magis sosok itu sangat kuat, matanya bersih sebening cahaya, kulitnya putih ibarat susu, wajahnya memerah bagai Sakura, pokoknya tiada lagi yang sepertinya. Sosok itu tak pakai lama membuat ia jatuh cinta sekaligus membenarkan dugaan Iki. 

Saban hari hanya membayanginya, tiada aktivitas lain, hidupnya seakan diambil alih sosok itu. Hasrat memiliki muncul, tanpa gugup, ia datangi sosok itu dengan dalil niat baik. Usai percakapan panjang, akhirnya hasil tak dikhianati, segala permintaan mengukir kebahagiaan yang tak disangka. Keduanya bersepakat menikah diakhir tahun.

Seperti hujan bulan mei, kebahagiaan berjatuhan usai terucap mantra, "saya terima nikah dan kawinnya yang tersebut". Mereka sah menjadi suami istri.

Sekian lama menolak jatuh cinta justru meningkatkan hasratnya. Namun saking cintanya pada Sari; nama istrinya ia rela tak melakukan ritual dimalam pertama. 

Dihari-hari berikutnya berharap bisa menagihnya, namun tak kunjung datang harapan itu, sudah sebulan menikah tapi tak menikmati. Ia selalu ditolak oleh Sari, entah karena apa. Dikepala ia mencoba berpikir positif, mungkin Sari masih belum pengen punya anak atau ada faktor-faktor lain yang belum bisa ditinggalkan.

Tapi masih sama, jarum jam berkeliling tanpa denting, siang berganti malam, ia belum dapat menuai itu dari Sari. Bahkan sudah menjelang bulan ketiga menikah, tapi hubungan suami---istri belum perna tersalurkan. Dilain sisi, tak bisa dipaksakan orang yang ia cintai mengikuti permintaannya. 

Namun jika terus seperti itu malahan akan menyiksa batin. Sementara ia sudah tak bisa menahan hasrat dalam diri, kehidupan menjadi hampa atas harap yang tak tertuai. Dalam keadaan seperti ini, tetiba terlintas dibenak mengenai cara lain, kalau dengan meminta persetujuan Sari terlebih dahulu belum tentu membuahi hasil. Maka basa-basi tak perlu lagi di awal, "langsung gas saja" gumam dalam hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline