Lihat ke Halaman Asli

Alat Pengumpul Harta

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat malam, saat yang paling ditunggu bagi sebagian besar pekerja yang ingin segera menikmati spasi dari rangkaian senin sd jumat. Aku salah satunya. Sebagus apapun rangkaian harimu, tanpa spasi rangkaian huruf kehidupanmu tidak akan bisa kau baca. Dan malam hari adalah kombinasi yang baik untuk belajar membaca walau sebentar saja. Si kecil Bian sudah terlelap begitu pula dengan mamanya. Hanya tinggal  aku dan komputerku.

Tangan kanan diatas mouse, hampir saja dia disorientasi hendak mampir pada aplikasi game lama. Tapi malam ini aku tidak hendak bermain perang-perangan dengan Age of Empire. Dari ide game itu, aku ingin bertamasya dengan pikiranku.

Secara acak aku jatuh pada sebuah lanskap hijau dimana disana tinggal masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Aku berjumpa dengan orang-orang yang pekerjaannya adalah berburu dan meramu. Tombak dan panah adalah alat bantu utama mereka. Kelinci, kijang, babi hutan adalah hewan buruan favorit. Sedangkan Anjing dan kuda adalah teman berburu yang bisa dihandalkan.

Disana aku sempat berkenalan dengan Toro, anak kepala suku Burjo yang berbadan tegap dan mempunyai kuda. Suku Burjo adalah suku yang disegani karena mereka mempunyai banyak kuda sekaligus handal dalam menungganginya untuk keperluan berburu maupun mengangkut barang.

“Siapa yang mempunyai banyak kuda, merekalah yang akan berkuasa” Ujar Toro pada suatu kesempatan.

“Kenapa bisa begitu?” tanyaku untuk mengorek lebih dalam dalam intonasi yang tidak sedang menginterogasi

“Aku tidak tahu, namun ayahku sangat berkuasa dengan mempunyai banyak kuda” jawabnya.

Kuda-kuda itu memang telah menjadi sendi penghidupan mereka, kuda-kuda adalah alat utama untuk mendapatkan dan mengumpulkan harta pada masyarakat Burjo. Sesekali konflik social muncul ketika mereka berebut wilayah berburu atau hasil buruan. Namun pemilik kuda terbanyak biasanya menang, bukan hanya karena badan yang tegap dan pengikut yang banyak namun juga karena merka punya kewenangan dalam membuat peraturan dan menafsirkan Undang-undang.

Tamasyaku berlanjut. Aku terjatuh pada areal persawahan. Kali ini aku singgah pada masyarakat tani yang telah jadi. Mereka tidak lagi berburu dan meramu walaupun sesekali kadang melakukannya. Teknologi mereka sudah mampu menemukan cangkul sebagai pengganti panah dan tombak. Padi sudah bisa mereka budidayakan. Mereka mampu menghadirkan nasi sebagai teman dari daging kelinci hasil buruan.

Berbekal pengetahuanku dari tamasya sebelumnya, aku mencari sendi penghidupan dari masyarakat ini. Ekor mataku menangkap sosok gempal sedang duduk di pematang dengan cangkul di di sebelahnya. Aku menghampirinya. Sosok itu segera berdiri meneruskan pekerjaannya seperti tidak ingin dilihat sedang bersantai-santai. Agak ragu aku mendekatinya, kuatir mengganggu namun akhirnya kusapa juga. Secara singkat kami berkenalan, namanyaTugiyo, seorang petani penggarap. Petani penggarap adalah petani yang bekerja di atas lahan pertanian yang bukan miliknya, tentu dengan persetujuan pemilik tanah. Kami bercakap beberapa menit.

“Kenapa anda tidak menggarap sawah anda sendiri?” tanyaku agak sedikit berani karena sudah menemukan keakraban

“Beberapa penduduk melakukannya, namun jika anda terlahir dari keluarga yang tidak punya tanah, bagaimana anda bisa hidup jika tidak menggarap sawah orang lain?” balasnya beretorika

Dari Tugiyo aku tahu bahwa pada masyarakat ini pemilik tanah terluas adalah yang paling berkuasa. Mereka sudah terbagi menjadi kelas-kelas. Kelas yang memiliki tanah adalah pemerintah yang sebenarnya dari ‘negara’ dan masyarakat. Tidak peduli apakah ada kekuasaan formal atau tidak, merekalah yang menentukan ukuran-ukuran dan nilai-nilai social yang berlaku. Salah satunya adalah jumlah upah atau bagi hasil bagi petani penggarap. Merka juga menciptakan “barier to entry” bagi kelas yang tidak mempunyai tanah untuk bisa berdaya.

Aku berjalan-jalan berkeliling desa, kulihat perbedaan model rumah yang mencolok antara pemilik tanah dan pekerja biasa. Cara berpakaian dan gaya hidupnya. Sebelum akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan tamasyaku.

Aku terseret dalam dimensi lainnya. Kali ini pada ruang dan waktu yang tidak begitu asing bagiku. Di depanku terlihat banyak orang berkerumun dengan pakaian yang sama menuju pada sebuah bangunan besar dengan cerobong asap diatasnya. Tanpa harus membaca plang nama didepan bangunan, dengan mudah aku mengidentifikasikannya bahwa itu adalah sebuah pabrik.

Aku mendekat untuk mengetahui jenis pabrik dan apa yang diproduksinya. Ternyata pabrik sepatu. Aku tidak awam dengan logo contrengnya karena aku juga memakai produknya. Tanpa harus wawancara dengan penghuni masyarakat ini atau satpam pabrik yang sudah mulai memperhatikanku, aku sudah tahu siapa pemiliknya. Pemiliknya tidak sedang berada di dalam pabrik itu melainkan berada pada belahan dunia lain yang sagnat jauh dari sini tapi mereka sangat berkuasa menempatkan pabrik-pabriknya di sini dan disetiap Negara lainnya. Hebatnya lagi produk-produk mereka juga laris manis disukai banyak orang, tidak hanya pekerjanya saja tapi juga mereka yang tidak bekerja disitu. Mereka tidak hanya memproduksi sepatu, namun juga pakaian, sabun, odol, bahkan makanan siap saji. Semuanya laris manis tanjung kimpul. Di akhir pekan, para pekerja menghabiskan upahnya untuk membeli produk-produk yang mereka buat sendiri.

Aku tidak perlu berkeliling lebih banyak untuk mengetahui sendi kehidupan masyarakat disini. Kepemilikan atas alat-alat produksi industry merupakan kunci utama.  Disini, sang pemilik atau pemodal tidak saja menentukan nasib ekonomi masyarakat, namun juga menguasainya secara politis. Mereka yang menetapkan ukuran-ukuran dan nilai-nilai social dalam masyarakat. Bahkan walaupun mereka bukan pemerintah namun tetap bisa saja berkontribusi terhadap undang-undang atau kurikulum pendidikan.

Lelah berkeliling, aku berniat mengakhiri tur kali ini. Pukul 00.55 WIB aku kembali berada di Jamanku. Tahun 2012.  Aku matikan computer lalu aku nyalakan televisi. Sambil menunggu kantuk kunikmati berita-berita yang masih sama dengan minggu-minggu sebelumnya. Berita yang kadang menggiringku pada opini si pemilik televise, entah sesat entah benar. Kadang yang sudah kita anggap benar ternyata salah, yang kelihatan penjahat ternyata malaikat. Logika pemirsa dibolak balik. Seperti debu di jalan, jika kita melihatnya dengan mata telanjang maka resiko kelilipannya akan lebih besar. Nampaknya tamasyaku masih berlanjut, pikiranku masih ingin mencari apa alat utama untuk pengumpul  harta pada masyarakat di jaman ini. Dan televisi sebagai bagian dari media massa disini sepertinya mempunyai kesamaan dengan kuda, tanah pertanian dan juga pabrik sepatu.

Jika Toro bilang bahwa “Siapa yang mempunyai banyak kuda, merekalah yang akan berkuasa”  si pemilik media itu membisikiku “Siapa yang menguasai informasi, merekalah yang berkuasa”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline