Lihat ke Halaman Asli

Hutang Itu (Tidak) Baik

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terdengar suara sepatu mendekati ruang kelas. Beberapa menit kemudian dosen yang kami tunggu sudah memasuki ruangan. Setalah merapikan kertas-kertas dan menancapkan flash-disknya ke dalam laptop yang terhubung ke layar proyektor, segera beliau mulai kuliahnya.

“Saya akan memulai pertemuan kali ini dengan satu pertanyaan” ujar pak Dosen membuka kuliah siang itu. Para mahasiswa masih diam, belum menjawab karena memang pertanyaan belum dilontarkan.

“Saya meminta kalian membuat pilihan. Jika kalian mempunyai perusahaan dengan modal sendiri sebesar 100 juta dimana setiap tahun menghasilkan net profit sebesar 30 juta, lalu masih ada uang cash sebesar 100 juta yang rencananya akan kalian gunakan untuk membuka perusahaan baru. Mana keputusan yang akan kalian ambil, mengajukan hutang ke bank atau menggunakan uang 100 juta milik kalian sendiri?” Tanya beliau. Abi dan mahasiswa lainnya mengangkat tangan hendak menjawab. Abi mendapat kesempatan pertama.

“Saya akan menggunakan uang 100 juta saya sendiri untuk membuka perusahaan baru” jawabnya

“Alasannya?” kejar pak Dosen

“Sebab, dengan memakai uang sendiri saya tidak perlu membayar kewajiban bunga bank, katakanlah 12% per tahun, maka saya lebih efisien 12 juta dalam satu tahun. Keuntungan saya utuh 60 juta dari 2 perusahaan milik saya sendiri” Abi berargumen. Cukup logis.

Jawaban senada diutarakan  kawan Ferdi yang diberi kesempatan setelahku, dengan argumen yang hampir sama hanya dalam bahasa berbeda. Kini tiba pada giliran pengangkat tangan ketiga, Ari.

“Saya akan menggunakan sumber dana baru dari hutang bank!” jawabnya mantap.

“Beri saya alasannya!” sahut pak dosen.

“Dengan menggunakan hutang bank sebesar 100 juta, maka saya bisa membangun 2 perusahaan baru, ditambah perusahaan lama, total menjadi 3 perusahaan. Dengan profit masing-masing sebesar 30 juta, maka saya dapat 90 juta, dikurangi kewajiban bunga sebesar 12 juta, saya masih membukukan keuntungan bersih sebesar 78 juta!” ujar Ari.

Para mahasiswa terdiam, ini jelas diluar pikiran mereka dan juga Abi. Sedikit takjub atas jawaban cukup cerdas tak terduga dari seorang Ari. Kata ‘hutang’ yang selama ini berkonotasi negative menjadi terdengar sedemikian indah siang itu. Lalu pak dosen memecahkan kebekuan.

“Dalam kondisi ideal, alternative yang ditawarkan Ari adalah yang terbaik. Karena dengan 78 juta pertahun, maka tidak sampai 2 tahun kalian sudah bisa mendirikan 1 perusahaan lagi dari profit yang diperoleh. Dan tentunya bank akan menawarkan plafond kredit yang lebih besar lagi karena asset kalian sudah naik secara bertahap. Saya hanya berusaha membuka paradigma kalian bahwa hutang tidak selamanya buruk, jika digunakan dengan baik dan proporsional maka akan berarti positif” Jelas pak dosen panjang lebar. Kemudian kuliah dilanjutkan dengan bab-bab materi akuntansi manajemen. Abi tidak begitu menyimak, dia masih mencoba berkenalan lebih akrab dengan konsep baru akan Hutang.

***

Lima tahun berlalu dari perkenalan Abi dengan teori hutang berwajah baik itu. Dan hari ini Abi benar-benar telah akrab dengan hutang berwajah baik itu, bukan dalam teori lagi namun dalam tataran praktis. Bukan sebagai pengusaha, namun sebagai analis dan sekaligus seorang marketing dari sebuah bank. Peran sebagai pengusaha diisi oleh Ari teman kuliahnya dulu. Walau bakat tidak sepenuhnya mempengaruhi kesuksesan seseorang, namun darah pedagang handal dari bapaknya nampak jelas menurun padanya. Jika boleh memilih, sebenarnya Abi lebih suka menjalani peran pengusaha daripada peran (pegawai) bank. Namun saat  kita tidak diijinkan memilih, upaya yang bisa dilakukan adalah mencintai yang sekarang ada. Dua alumni bekerja dan berkarya di kota yang sama, pada dua peran yang berbeda namun mempunyai peluang simbiosis mutualisme. Pengusaha dan bank.

Dimana ada gula disana ada semut. Dimana ada potensi ekonomi disana akan banyak bank. Terdengar bagus memang.  Intermediasi perbankan jalan. Usaha tumbuh. Pengangguran sedikit. Ekonomi growth.  Kota kecil ini tiba-tiba menjadi ramai karena produksi dan perdagangan kasur benar-benar memberikan peluang margin yang besar. Pasar yang luas. Dan tentunya pengembalian modal yang lebih cepat. Sungguh criteria investasi yang menggiurkan bagi para kreditur.

Pada mulanya pengusaha kasur di kota ini hanya ada beberapa saja, tidak lebih dari sepuluh orang. Salah satunya adalah bapaknya si Ari. Dengan dukungan modal dari bank, pertumbuhan industry kasur menjadi sedemikian pesatnya. Hanya dalam kurun waktu 5 tahun, kota ini berhasil mencetak 500 pengusaha baru dari sebelumnya yang hanya sekitar sepuluh  orang saja. Dan berapa jumlah bank saat ini? Cukup berimbang dengan pertumbuhan pengusaha. Saat usaha ini belum begitu booming, hanya ada 2 bank yang punya kantor cabang disini. Namun kini, tidak kurang dari sepuluh  bank dengan berbagai nama bercokol  di lokasi-lokasi strategis. Neon box mereka begitu indahnya bersinar jika malam tiba. Sangat Eye Cacthing. Menangkapi peluang-peluang bisnis yang masih bisa dibiayai. Kurang lebih untuk kepentingan yang sama. Profit.

Malam undur diri. Pagi menjelang. Hari ini adalah tahun ke-6 Abi bekerja di kota ini. Sebagaimana hari-hari biasa, segera dia bersiap bekerja setelah selesai sarapan dan menyirami tanaman gelombang cinta kesayangannya. Tidak lebih dari dua puluh menit, dia sudah berada pada rapat evaluasi dan strategi perusahaan tempat dia bekerja. Pimpinan menyampaikan sikap direksi terhadap kondisi terkini.  Melalui pimpinan, direksi jelas hanya menginginkan pertumbuhan. Sebagai bank yang pertama kali ada di kota ini, sudah seharusnya kami menjadi market leader. Jika mereka yang follower itu bisa mencatatkan pertumbuhan kredit, sudah seharusnya kami bisa. Tapi kenyataannya berbeda. Pertumbuhan ekspansi kredit kami kalah dengan para pengikut itu.

“Bagi yang tidak sanggup silahkan mengundurkan diri, atau pilih jabatan lain yang lebih sesuai” Ujar pimpinan kami dengan suara berat dan berwibawa menutup meeting pagi itu. Meeting selesai. Bersama teman-teman seprofesi abi meninggalkan ruangan untuk melanjutkan aktivitas lainnya.

Krrrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing. Suara ringtone konvensional dari Smartphone Abi memanggil. Di layar terlihat nama Ari, sahabat sekaligus kini nasabah Abi.

“Ya Halo” Abi mengangkat telponnya.

“Bi, ada waktu? Bisa kita ketemu? Ada hal yang perlu aku sampaikan” cerocos Ari

“Kapan?”

“Bagaimana jika nanti malam, di kedai kopi Jl. A Yani”

“Ok. Jam 8 malam aku sampai sana”

***

Di pojok kedai kopi mereka berbicara secara seius. Asap rokok panjang keluar dari hidung Abi. Dia seperti benar-benar menghayatinya. Namun asap itu tidak cukup kuat untuk bisa menyembunyikan mimik kebimbangannya. Baru saja Ari, sahabat dan nasabahnya, berniat mengajukan tambahan kredit untuk ekspansi lagi. Abi bukan tidak percaya kepada karakter Ari yang selalu menyelesaikan kewajibannya secara tepat waktu dan tepat jumlah, namun menurut perhitungannya Ari belum layak untuk untuk mendapatkan plafond sebesar itu. Resikonya terlalu besar buat usaha Ari, cashflownya akan terganggu oleh beban bunga yang bertambah. Apalagi jika proyek yang barusan dia utarakan tidak berjalan sesuai yang dia proyeksikan. Namun Ari sungguh optimis, walau menurut Abi sesungguhnya dia over optimis.

Satu minggu berlalu begitu saja. Abi masih di tempat duduknya tanpa membuat keputusan apapun, dan jika engkau bekerja di bank khususnya bagian kredit, hal  itu adalah sebuah kesalahan. Kesalahan itu akhirnya berbuah kejutan tidak enak. Saat itu Ari sedang di awang-awang. Dia  telah memutuskan berpindah ke lain bank yang lebih bisa menerima rencana ekspansinya. Satu nasabah potensial dengan outstanding terbesar telah ikut terbang. Satu hubungan persahabatan  terbenam. Walau mereka berprinsip untuk tidak mencampuradukkan antara pekerjaan dan persahabatan, namun keputusan Ari tetap meninggalkan jejak kurang bagus dalam sejarah persahabatan mereka.

***

Sesunggunya, sebuah hubungan apapun itu, Jika itu dibangun dalam konsep sama-sama untung mungkin akan harmonis dan langgeng. Namun jika ada yang ingin untung lebih banyak, apalagi merugikan salah satu maka jelas hubungan itu tidak sehat. Bank-bank follower itu sebagaimana dalam pamphlet dan iklan mereka juga menggunakan konsep sama-sama untung. Namun ketika bicara target profit yang harus digapai, maka segala cara akan dilakukan. Ekspansi besar-besaran. Tidak peduli pengusaha untung atau rugi, yang penting salurkan kredit sebesar mungkin dan jika memungkinkan berikan bunga setinggi mungkin. Toh sama-sama setuju. Orang cenderung tidak Tanya bunga jika diberi plafond yang besar. Jika pada akhirnya dalam kurun dua tahunan mereka tidak kuat bayar lagi, toh hasil dari pembayaran bunga sudah sama dengan pokok. Bagaimana dengan pengembaian pokok pinjamannya? Itu adalah bagian termudah, tinggal menjual agunan. Sementara itu, di pojok lainnya diam-diam koperasi dan lembaga pembiayaan lainnya mulai mengamati dan meniru pola dari bank-bank itu. Suasana menjadi semakin semarak. Riuh rendah.

Konsep hutang  berwajah baik yang dulu dikenal oleh Abi kini menjadi hutang yang berwajah buruk. Abi menjadi kurang akrab dengannya. Walau dia tetap kelihatan cantik saat berada di bank-bank follower itu ataupun saat dikantornya bersama beberapa teman seprofesi namun dimata Abi kini dia telah menjadi  buruk. Semua orang telah tertipu oleh kemasan dan kemudahan-kemudahan pengajuan kredit, plafond yang gila diluar kemampuan bayar. Bayar bunga dengan uang pinjaman itu sendiri, lalu dua tahun tumbang.

Abi tetap pada pendiriannya, yang dia kenal adalah hutang berwajah baik dan sekaligus berhati baik, dia tidak mau melebih-lebihkan plafond walau semua orang melakukannya. Abi berjualan apa adanya, tidak mau ya sudah. Begitu katanya pada suatu waktu. Pertumbuhan kinerjanya seperti melambat, bukan karena dia tidak bergerak namun karena sekelilingnya sedang berlari sprint.  Karena dianggap kurang pandai berlari. Pimpinan dan kabag SDM sering menyebut namanya. Bukan dalam hal yang mengenakan. Abi tetap tidak peduli. Dia malah mengambil keputusan resign.

***

Dua tahun berlalu. Kondisi makro baik-baik saja. Kurs stabil, suku bunga stabil, inflasi stabil. Hanya kondisi di kota ini yang nampaknya tidak stabil. Gudang-gudang kasur yang dulu penuh dengan barang kini kosong melompong. Rumah-rumah mewah yang dulu banyak tanaman anthurium di halamannya itu kini sepi dengan plang-plang logo bank di depannya. Sudah dua tahun Abi meninggalkan kota ini, dua tahun pula dia tidak berkantor di gedung megah itu. Bagi Abi saat ini, rumah adalah sebaik-baiknya kantor, dan pemilik perusahaan adalah sebaik-baiknya karir. Pagi itu dia sebenarnya tidak sedang bernostalgia, namun sedang mencari lokasi untuk dia gunakan sebagai  gudang beras. Bisnis yang sedang dia tekuni dengan modal sendiri. Persis seperti yang dia gambarkan saat menjawab pertanyaan dari dosen-nya waktu itu. Siapa sangka, tanaman anthurium yang dia beli dengan harga jutaan rupiah dapat memberinya modal usaha karena dihargai ratusan juta oleh orang-orang kaya irasional penggila tanaman hias. Mobil pajero dia kemudikan perlahan, sayup-sayup dari radio, suara Brian May dengan lagu To Much love Will kill you terdengar seperti terpleset menjadi  TO MUCH DEBT WILL KILL YOU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline