Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Arif

Columnist

Perkara Menjadi ASN

Diperbarui: 12 Maret 2020   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Logo KORPRI/Dokpri

Tidak dapat dipungkiri, bahwa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) masih tetap menjadi idam-idaman banyak pencari kerja. Terbukti, dari pendaftar yang mendaftarkan diri setiap kali pembukaan pendaftaran ASN selalu membeludak.

Tapi, apakah benar dengan menjadi ASN akan dapat hidup senang kalau kita sepakat bahwa tujuan hidup ini adalah untuk mengapai kebahagiaan?

Dari sisi kesejahteraan yang ditawarkan, menjadi ASN dapat dikatakan cukup menjanjikan meski tidak dapat dikatakan mampu membeli banyak kebutuhan tersier. Terlebih, bagi mereka yang baru saja diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan harus menjalani masa percobaan selama satu tahun dengan hak gaji hanya sebesar 80 persen.

Meski pendapatan ASN tidak hanya sebatas gaji, ada juga pendapatan lain seperti tunjangan keluarga, beras, kemahalan, daerah terisolir, dll yang diatur menurut peraturan perundang-undangan. Di samping itu, ASN mendapatan juga Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) yang diatur menurut peraturan daerah. Memang, untuk beberapa daerah bahkan ada yang tidak memberikan TKD karena persoalan anggaran.

Sehingga, patut disyukuri oleh ASN yang daerahnya mampu memberikan tunjangan kinerja meski kadang malah menimbulkan kecemburuan sosial karena jumlahnya bisa sangat bervariasi. Seperti yang baru-baru ini heboh di pemberitaan, seorang ASN baru di DKI Jakarta bisa mengantongi puluhan juta rupiah dalam sebulan.

Selain perihal gaji, menjadi ASN juga dipandang di masyarakat, utamanya di daerah, sebagai suatu tolok ukur kesuksesan seorang menempuh pendidikan. Meski sekarang muncul milyarder-milyarder baru dari sosial media, menjadi ASN tetap dianggap puncak kesuksesan. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pihak yang berkepentingan mengurus soal literasi.

Namun, di sisi lain, menjadi seorang yang 'dipandang' sejalan dengan tanggung jawab besar untuk bersikap dan berperilaku selayaknya teladan bagi yang lainnya. Perkara menjadi menjadi seorang ASN yang sebenarnya baru saja dimulai. Lupakan soal gaji, tunjangan, dan fasilitas yang diterima.

Dalam Undang-undang No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang di dalamnya mencakup Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pengawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dikatakan ASN memiliki fungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan masyarakat, serta sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Ketiga hal tersebut di atas memang melekat dalam tugas dan tanggung jawab keseharian ASN dalam berkerja bahkan di luar pekerjaan.

Tidak sedikit pula dalam pelaksanaannya sering timbul gesekan di masyarakat, utamanya ketika menerapkan aturan baru dan dalam menjalankan tugas pelayanan yang kadang tidak seperti yang diharapkan masyarakat. Bahkan dalam fungsinya sebagai perekat dan pemersatu bangsa ada juga yang berjalan tidak pada relnya.

Akibatnya, muncul pandangan-pandangan miring soal ASN. Misalnya saja karena ada oknum ASN yang kebetulan terlihat di jalanan saat jam kerja, kesan yang timbul di masyarakat bahwa ASN kerjanya keluyuran. Atau, beberapa ASN dalam bertugas lupa akan fungsinya sebagai pelayan kemudian bertindak seolah-olah atasan bagi masyarakat.

Tentu saja tidak semua ASN bermental seperti itu, banyak juga cerita-cerita ASN yang bahkan harus menempuh perjalanan yang jauh untuk mendidik anak-anak di pedalaman. Begitu juga cerita ASN yang setiap hari menghadang ganasnya ombak untuk menyelamatkan nyawa manusia di pulau-pulau. Mereka itu adalah ASN yang meninggalkan keluarganya dan menomorduakan kepentingannya sendiri untuk sepenuhnya menjadi abdi negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline