Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ardiyan

Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN

Masalah Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Desa

Diperbarui: 23 Oktober 2024   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada masa pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia meluncurkan berbagai program bantuan sosial untuk membantu masyarakat yang terdampak, salah satunya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program ini dirancang untuk memberikan bantuan finansial langsung kepada masyarakat miskin yang mengalami kesulitan ekonomi akibat pembatasan aktivitas dan kehilangan mata pencaharian. 

Namun, meskipun BLT bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, implementasinya di berbagai daerah, khususnya di desa-desa, masih menghadapi banyak kendala. Berikut beberapa kendala tersebut:

1. DTKS tidak update
Masalah DTKS yang tidak terbarukan menjadi faktor utama ketidakakuratan data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Karena data tidak diperbarui secara berkala, banyak penerima bantuan yang sebenarnya tidak lagi memenuhi syarat tetap terdaftar, seperti mereka yang sudah meninggal atau kondisi ekonominya sudah membaik. Sebaliknya, warga yang baru jatuh miskin atau terkena dampak ekonomi terbaru sering kali tidak masuk dalam data, sehingga tidak tercatat sebagai penerima BLT.

Ketidakakuratan ini diperburuk oleh pendataan lama yang tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat. Hal ini menyebabkan bantuan tidak sampai kepada mereka yang membutuhkan, sementara orang yang tidak layak justru mendapat bantuan. 

Tanpa adanya proses validasi dan verifikasi lapangan yang baik, penyaluran BLT menjadi tidak tepat sasaran, merugikan mereka yang seharusnya menjadi prioritas penerima bantuan. Akibatnya, efektivitas program bantuan sosial ini menurun, dan ketidakpuasan serta ketidakpercayaan terhadap pemerintah meningkat di kalangan masyarakat.

2. Nepotisme
Penyaluran BLT diwarnai praktik nepotisme, di mana beberapa penerima diprioritaskan karena memiliki hubungan dekat dengan aparat desa. Masyarakat yang memiliki kerabat bekerja di kantor desa lebih mudah mendapatkan bantuan, sementara mereka yang tidak memiliki koneksi seringkali diabaikan. Bahkan, BLT seringkali dijadikan komoditas politik. 

Para pejabat desa memanfaatkan BLT dengan cara hanya memberi bantuan langsung pada orang yang memilihnya. "Saya sebelumnya tidak terdaftar sebagai penerima bantuan langsung tunai karena saya bukan termasuk orang yang memilihnya", ujar salah satu warga desa di carawali kabupaten sidrap.

3. Kurangnya keterbukaan informasi
Kurangnya keterbukaan informasi dalam penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) oleh pemerintah desa menyebabkan berbagai masalah, terutama dalam hal ketidakmerataan distribusi bantuan. Pemerintah desa sering kali tidak transparan dalam menjelaskan kriteria penerima bantuan dan proses pendataan. 

Akibatnya, masyarakat yang seharusnya berhak menerima bantuan tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai apakah mereka memenuhi syarat atau tidak, atau bagaimana mereka dapat terlibat dalam proses pendataan. 

Hal ini memperburuk situasi ketidakadilan, di mana banyak warga yang layak menerima bantuan tidak terdaftar, sementara yang tidak layak justru mendapatkan bantuan.

Kurangnya sosialisasi mengenai hak-hak warga untuk memeriksa dan memperbarui data mereka juga memperparah masalah ini. Masyarakat tidak tahu bahwa mereka bisa melaporkan perubahan kondisi ekonomi, seperti kehilangan pekerjaan, yang bisa memengaruhi kelayakan mereka sebagai penerima BLT. Akibatnya, data yang digunakan menjadi tidak akurat dan bantuan tidak tepat sasaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline