Lihat ke Halaman Asli

Anak itu Bernama Panama Syahbandariah: kredo 1

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Anak Itu Bernama Panama Syahbandariah

: kredo 1

telah kukalahkan bulan esok

tahun yang mengangkat langkah

namun patah; jembatan itu dirisau usia

oleh siapa?

tanya lupa tanya lusa

olehku

atau olehnya

tentu boleh kau bertanya

pada dinding yang kejam

diam mengonjang-ganjing depan

bukan untuk melewatkan kisah

ataupun pasrah

namun boleh kau bertandang

ke gubuk reyot ini

yang atapnya hujan

penuh lumpur penuh lahan tempur

tanpa usai

dimaki carut-marut keadaan

lantas siapa keluh

yang menyambut kesah; lusa

jika percaya pada lalu

menganggap doa sebagai umpan

untuk dilumat garis-garis ragu

kau boleh bertanya

sebelumnya adakah pohon bertunas akar

yang keras setajam oak-oak raksasa

betapapun angin segar menimpuk

tetap tegar; kekar mekar

tak juga ada

tak juga tersisa

itu mimpi katamu

sebab dinding ini keropos

sujud-sujud mesra dibandingkan manusia

kau anak lelaki tak berwajah

penuh luka

borok dimana-mana

hingga diludahi oleh kecaman jaman

siapa disana?

pintu depan diketuk dengan mesra

masuklah; tapi jangan kau ludahi lagi

duduklah

ini meja penuh kata penuh kalimat

tak perlu bertanya kapan aku memulai

silahkan kau mulai

debu; ya disini debu

sengaja kutinggalkan

serta beberapa rayap yang subur

agar rakyatnya menjadi saksi

bukan bisu

bukan pula tak ada

sejenak kau tertawa di belahan bumi

sedang surat terbaca

sesempat lalu

hingga tak terbalas

sudah sepekan; kotak ini penuh gerimis

elegi-elgi yang rongsok

subuh yang dieramkan

hingga lahir erangan bayi tanpa nama

tanpa ibu

yang ditinggal pergi

lalu mau kemana lagi?

kau boleh bertanya

tentang asal-usul

serta inisial-inisial lalu

dan pikirkanlah maklumat esok

untuk kau bombardirkan kasat mata

di depan pagi

sebelum fajar menyiangi hangat

keji itu sudah biasa dilumat

hingga kenyang

tak lagi lapar; pengemis

bukan hanya bait-bait ejekkan

aku dilahirkan dari perut wanita

bukan tanpa cobaan

tapi doa; dari malaikat sebelah kanan

dan kiri yang bertasbih

sedang kau boleh bertanya

KAFIR!

kaum yang melupa siapa

bukan, bukan salah mereka

kita sama, bernyawa

pekat dunia; napas

sedang kau boleh merias diri

serta awan-awan kabut

jangan teruntuk manusia lain

YA KARIM

bukan untuk dilafaskan hingga lupa

kita sama; hanya saja kau lengkap

dan aku sebatang kara

ya; di jalan kurobek batas usia

hingga mengemis; kau berkata

KAFIR!

termasuk ibu yang melahirkan

kalian sama

dan kau teriak sekencang bumi

meminta nyawanya kembali

ANAK KAFIR!

YA ALLAH, YA RABB...

jika langkah; semesta ini penuh kaum

berlogika kiri

lahirkan aku sebagai hewan

yang pantas dicaci

atau dilempar makian

semacam hari; sepanas erosi tiada sudah

kau boleh bertanya

kepada siapa pesan itu

kepada lalu

dan akulah penyambung lidah

pintu di depan berbalut angin

tinggal kau masukkan beberapa kata

tak perlu salam

tak perlu nama

kau mengira tapap-tapak itu tak merias

sedang ibu entah dimana

ayah sedang asyik berdoa

sujud-sujudnya tak kudengar

lagi

dan kau di belahan bumi

bertanya-tanya; sesal

atau bahagia

karena lontaran itu membatu

otak kian meluas

dan di jalan menuju esok

kau boleh bertanya

untuk siapa manusia dilahirkan

atau diperjualbelikan

kata campur darah

-luka

Jambi, 15 Desember 2013

M.A

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline