Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Alif Qodry Afifi

Mahasiswa S1 Manajemen Universitas Airlangga

PPN 12%: Terbaik Atau Mencekik?

Diperbarui: 31 Desember 2024   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi Unjuk Rasa Mahasiswa BEM-SI Tolak PPN 12% di Kawasan Patung Kuda, Jakarta (Sumber : VIVA.co.id/M Ali Wafa)

Akhir-akhir ini di berbagai media sedang ramai berita tentang kenaikan Pajak Pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang menuai banyak kritikan dari berbagai unsur akademisi, kalangan mahasiswa, serta pakar ekonomi dan netizen. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita mengenal tentang apa itu PPN.

Dilansir dari berbagai sumber, Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disingkat dengan PPN merupakan pungutan yang dikenakan atas transaksi jual-beli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah yang memiliki status Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan kata lain, PPN adalah pajak konsumsi atas barang dan jasa dan dikenakan pada setiap tahap rantai pasokan. Artinya, pada tahap produksi, distribusi, dan penjualan suatu barang, akan dikenakan PPN yang berjumlah sebesar harga jual akhir yang dibayar konsumen.

Melalui Harmonisasi Undang-Undang Peraturan Perpajakan (UU HPP), PPN akan dinaikkan dari 11% menjadi 12%. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Ayat 2 UU HPP, PPN akan dinaikkan sebesar 11% pada 1 April 2022, dan selanjutnya sebesar 12% pada 1 Januari 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kenaikan PPN diperlukan untuk pembangunan nasional dan “akan dipungut secara adil”.

Memang jika dilihat secara sekilas, kenaikan yang dialami dari 11% menjadi 12% hanya sebesar 1% saja. Namun, 1% tersebut adalah presentase dari total harga awal, bukan dalam nominal. Anggaplah anda hendak membeli sebuah produk berharga Rp10.000 dan PPN yang harus dibayar sebesar 11% dari total harga produk (Rp1.100), maka anda harus membayar produk tersebut seharga Rp11.100. Apabila PPN naik menjadi 12%, maka anda harus membayar seharga Rp11.200. Kalau kita lihat dari selisih PPN 11% dan 12% mungkin hanya sebesar Rp100 sehingga membuat masyarakat berpikir bahwa kenaikannya hanya 1%. Namun, kita juga perlu melihat kenaikannya dari sisi pajak, bukan dari harga total. Oleh karena itu, 11% harus dibagi 12%, sehingga menghasilkan persentase 0,9 atau 9%, sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan PPN yang dialami adalah sebesar 9%, bukan 1%.

Mengapa kebijakan tersebut memicu banyak perdebatan, kritik, hingga penolakan dari berbagai kalangan?

Banyak yang berpendapat bahwa kebijakan ini akan memberatkan masyarakat, karena menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa sehingga mengakibatkan pada meningkatnya jumlah pengeluaran. Ada pula yang berpendapat bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan satu pihak saja. Sebagai perbandingan, berdasarkan data BPS, pengeluaran masyarakat kelas menengah di Indonesia pada tahun 2024 adalah sekitar Rp40.200.000 per tahun. Apabila PPN 12% diterapkan, maka pengeluaran tersebut dapat mengalami kenaikan sebesar kurang lebih sekitar Rp4.250.000 per tahun.

Dampak PPN 12% Bagi Masyarakat Menengah:

  • Meningkatnya biaya produksi yang diikuti oleh inflasi harga barang dan jasa, sehingga mengakibatkan pada menurunnya daya beli masyarakat yang akan berdampak pada pelaku UMKM
  •  Menghambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Dengan daya beli menurun dan konsumsi Rumah tangga yang tertekan, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat
  • Pengurangan tenaga kerja akibat PHK yang dilakukan oleh perusahaan untuk meminimalisir biaya produksi, sehingga akan berdampak pada naiknya tingkat  pengangguran

Kesimpulan

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% membawa dampak signifikan bagi masyarakat, pengusaha dan perekonomian nasional. Kelompok berpenghasilan rendah dan UMKM menjadi pihak yang paling rentan. Sementara itu, pengusaha besar mungkin dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan kondisi baru ini.

Pemerintah perlu memberikan kebijakan pendukung, seperti subsidi dan insentif pajak, untuk membantu kelompok terdampak. Dengan langkah mitigasi yang tepat, kenaikan PPN dapat memberikan manfaat jangka panjang tanpa membebani perekonomian secara berlebihan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline