Jusuf Hamka atau yang akrab disapa sebagai baba alun belakangan ini tengah ramai diperbincangkan oleh publik. Bagaimana tidak, kasus dugaan pemerasan oleh sebuah bank syariah yang mendera perusahaan yang dipimpinnya telah berhasil menyedot atensi masyarakat.
Kasus ini bermula pada Maret 2021 ketika beliau berniat melunasi sisa utang perusahaannya senilai Rp 795 miliar kepada bank syariah swasta tersebut. Pelunasan ini ia lakukan karena negosiasi penurunan margin utang yang ia lakukan sebelumnya menemui kegagalan.
Anehnya, uang tersebut tidak langsung didebitkan dari rekeningnya padahal surat perintah telah ia layangkan dan selama itu pula margin utang terus bertambah. Kejanggalan ini berujung pada raibnya uang perusahaan sebesar Rp 105 miliar rupiah dengan dalih pembayaran margin utang.
Tak terima, beliau pun membawa kasus ini ke ranah hukum setelah melakukan somasi terhadap bank syariah swasta tersebut sebanyak tiga kali. Hingga kini, kasus dugaan pemerasan ini terus bergulir dan di bawah pengawasan OJK.
Kasus dugaan pemerasan yang dilakukan oleh sebuah bank syariah swasta ini berhasil menciptakan sentimen negatif terhadap perbankan syariah bahkan lebih jauh lagi, terhadap penerapan syariah itu sendiri.
Meskipun beliau secara lugas menyatakan bahwa tak ingin menjelekkan citra perbankan syariah, kasus ini secara tidak langsung semakin menguatkan gaung keji yang menyatakan bahwa perbankan syariah lebih kejam daripada perbankan konvensional namun dibungkus manis dengan dalih penerapan ajaran agama. Lantas benarkah perbankan syariah sekeji itu? Dan apa yang melatarbelakangi timbulnya gaung tersebut?
Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita sedikit memahami apa itu syariah. Secara istilah syariah merupakan seperangkat aturan dalam agama Islam yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan juga antara manusia dengan manusia.
Dilihat dari perkembangannya, syariah dapat kita kelompokkan ke dalam dua bentuk. Yang pertama ialah statis yang mana tidak akan pernah berubah selamanya dan yang ke dua dinamis, yakni dapat berubah mengikuti perkembangan zaman. Tujuan dari penerapan syariah adalah untuk melindungi agama, jiwa, keturunan, akal, harta, kehormatan, rasa aman, dan kehidupan bermasyarakat.
Syariah wajib hukumnya untuk diterapkan oleh seluruh umat Islam. Kewajiban ini timbul karena menjalankan syariah merupakan perintah Allah yang harus ditaati oleh mereka yang mengaku sebagai hamba-Nya. Syariah diwajibkan bagi seluruh umat Islam karena kesempurnaannya dan kesiapannya dalam menghadapi segala tantangan zaman.
Oleh karenanya, menuduh orang yang menerapkan syariah bahkan menuduh syariah itu sendiri sebagai suatu yang keji merupakan tindakan yang amat sangat tercela.
Kewajiban menjalankan syariah menyebabkan umat Islam berupaya semaksimal mungkin untuk menerapkan syariah dalam segala aspek kehidupannya termasuk dalam sektor finansial. Penerapan syariah dalam sistem perbankan pada dasarnya adalah untuk menghindari perbuatan zalim atau aniaya yang jamak ditemui pada perbankan konvensional.