SERIAL SALAH KAPRAH DALAM BAHASA INDONESIA (2):
TERAKREDITASI
Muhammad Akhyar Adnan
(Dosen Prodi Akuntansi FEB UMY)
Salah kaprah lainnya yang cukup luas terjadi adalah ketika banyak orang, bahkan lembaga pendidikan menyebut istilah 'terakreditasi'. Istilah ini memang relatif baru, yakni sejak diberlakukannya sistem akreditasi, terutama untuk Lembaga Pendidikan di berbagai tingkatan. Tidak tanggung-tanggung, bahwa kesalah-kaprahan ini justru terjadi di lingkungan yang semestinya faham dan patuh kepada kaidah Bahasa Indonesia.
Di mana salahnya? Mari kita bahas.
Kata 'terakreditasi' merupakan kata yang berasal dari akar kata akreditasi dan diberi imbuhan atau awalan 'ter'. Sebuah awalan dalam Bahasa Indonesia mempunyai makna tertentu. Misalnya saja, awalan 'ter' selama ini difahami mempunyai 3 (tiga) makna.
Pertama, 'ter' berarti paling. Misalnya: terpanjang, artinya paling panjang. Terindah, artinya paling indah, terbaik, artinya paling baik, dan seterusnya. Dalam Bahasa Inggris ini disebut superlative.
Kedua, 'ter' bermakna tidak sengaja. Misalnya: "Anak kecil itu terjatuh di tangga rumahnya". Ini bermakna bahwa jatuhnya anak kecil itu, tidak disengaja. Begitu pula misalnya kata-kata: tertipu, terperanjat, terbawa, dan seterusnya. Semua awalan 'ter' tersebut menunjukkan bahwa kejadian tersebut tidak disengaja, bahkan mungkin tidak diharapkan.
Ketiga, 'ter' dapat diartikan 'dapat di-'. Misalnya saja dalam kalimat: "Beban berat tersebut akhirnya terangkat juga oleh pemuda itu"; "Konflik antara dua kakak beradik itu terselesaikan juga oleh orang tuanya"; "Terjawab sudah teka-teki pelik ini". Semua kata yang berawalan 'ter' di atas, dapat diartikan sebagai "dapat di-...".
Nah, bagaimana dengan istilah terakreditasi?