Aku terbangun. Udara di sini begitu panas, kurasa. Seperti mimpi yangbaru kualami. Mimpi yang tak biasa. Mimpi tentang matahari. Ya, hanya matahari. Menyilaukan.
Entah bodoh, entah apa. Wanita itu sebenarnya mencintaiku tapi kukatakan sebaiknya kau tak memilihku. Pilih saja dia, dia pria matahari.
Aku tak tahu iblis mana yang mengajariku berbicara begitu filosofispadanya, pada gadis itu. Aku katakan “sebaiknya kau pilih dia, dia pria matahari. Dia akan terus memberi terang padamu. Dia selalu mampu menunjukkan mana jalan yang benar untukmu. Bersamanya tiada terliput olehmu keraguan, semuanya serba jelas. Dia pria yang tepat untukmu.” Semua kulihat memuai, aku tak tahu apa yang kuucapkan. Menyesal tiada guna.
---
Rintik hujan jatuh membasahiku. Aku hanya bisa menekuri diri. Kalau keledai hanya jatuh ke lubang yang sama satu kali, maka aku dua.
Entah bodoh, entah apa. Wanita itu sebenarnya mencintaiku tapi kukatakan sebaiknya kau tak memilihku. Pilih saja dia, dia pria hujan.
Aku tak tahu iblis mana yang mengajariku berbicara begitu filosofispadanya, pada gadis itu. aku katakan “sebaiknya kau pilih dia, dia pria hujan. Dia akan terus-menerus memberikanmu kasih. Tiap tetesnya akan membuatmu senantiasa bersyukur. Tiap rintik yang mengenai tubuhmu, akan membuatmu merasakan kamu, kepalamu, badanmu, tanganmu, kakimu.Terus-menerus jika kau memilihnya, maka kamu akan semakin menemukandirimu. Dia pria yang tepat untukmu.”
---
Aku tertunduk, tersaput semuanya yang masih menggantung. Aku hanyalahpria mendung. Sentimentil, selalu berhubung dengan harapan namun takpasti akan jadi kenyataan, penuh ketidakjelasan, semuanya serba lambat semuanya serba tak menentu.
Entah bodoh, entah apa. Kau pilih saja bukan aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H